Polisi dan Hoegeng Award
Oleh: Suryadi
Di belahan dunia ini, selain Indonesia, adakah polisi yang punya “kerja tetap” selain sebagai penegak hukum? Mungkin ada, tapi Indonesia baik secara resmi maupun panggilan nurani mencatat adanya hal serupa itu.
Seorang Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) di masa lalu serius berkata, “Lebih baik berpangkat kopral, tapi otak jenderal dari pada sebaliknya” (Rumah dinas Kapolwil Lampung, 1981, Kapolri (1979– 1982) Jenderal Pol. (Pur) Dr. Awaloedin Djamin, MPA (alm) kepada jurnalis, Salman Chaniago (alm) dan Suryadi).
Ada pula Jenderal Polisi generasi pelanjut yang berkata, “Jadilah anak yang saleh. Ini nilai dasar yang pertama-tama ditanamkan oleh orang tua kepada anak-anaknya begitu lahir ke dunia. Maka, jangan khianati orang tua agar kita tak berkhianat kepada Negara”. (Mako Brimob Kelapa dua, 30/10/2023, Komandan ke-31 Korps Brimob Polri, Komjen Pol. Drs. Imam Widodo, M.Han).
Indonesia dengan warga beragam suku, perbedaan budaya, dan perangai khas masing-masing menghuni belasan ribu pulau. Mereka warga negara yang berada di antara silang budaya dan ideologi-ideologi dunia.
Tak cuma klaim beragama sebagaimana tercantum resmi di Kartu Tanda Penduduk (KTP) warga negaranya yang diatur oleh Undang-Undang (UU), toh banyak negara lain yang “menabalkan” Negara ini sebagai Negara Agamis.
Bahwa ada yang bertolak belakang antara klaim dan kenyataan, pasti lah itu karena pengaruh yang tak terelakkan, bahwa negeri ini berada di tengah-tengah pergaulan dunia. Perburuan yang serba materi, mungkin menjadi salah satu fakta lain yang mengesankan goyah.
Pernyataan tersebut mungkin mengenerasilasi, tetapi itu bukan isapan jempol. Apalagi, jumlah penduduk Indonesia 277 juta jiwa lebih (keempat terbesar di dunia), termasuk yang miskin materi dan miskin total (pikir dan material). Kesalahan besar selama ini adalah melihatnya sekadar angka statistik, sehingga lahir perlombaan menurunkan jumlah. Tidak kualitatif dan substansial!
Masih diperlukan lebih banyak lagi panggilan diperkaya oleh panggilan nurani, baik dari Negara (baca: pejabat birokrat yang negarawan) maupun rakyat. Panggilan nurani dimaksudkan, agar yang hadir satu-dua tak cuma sinterklas piawai bagi-bagi bantuan. Itu pun tak clear menjelaskan sumber bantuannya.
Di tengah-tengah kondisi seperti itu, dua pernyataan jenderal polisi di awal tulisan di atas, tentulah terasa sangat memanggil-panggil asa. Di antara mungkin lebih banyak lagi personel Polri yang bernurani, tulisan ini secara ringkas coba mengangkat tiga polisi dengan “kerja lain” selain menyandang profesi penegak hukum.
Ketiga orang tersebut, yakni Kompol Jajang Mulyawan, S.H., M.H. (Kabag Pembibaan Pendidik Sekolah Polisi Negara/SPN Polda Banten); Kombes Pol. Edy Sumardi, S.I.K., M.H. (mantan Direktur Pengaman Objek Vital Polda Banten, yang kini Anjak Madya Bidang Pamobvit Korsabhara Baharkam Polri); dan Kombes Pol. Dr. Agus Trianto, S.H., S.I.K., M.H. (Kepala Bagian Logistik Kor Brimob Polri). Formalistiknya sangat beralasan, mengingat landasan konstitusional dan UU yang menyebutkan: Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum (UUD 1945, Pasal 30).
Tersambung dengan bunyi landasan konstitusi tersebut, ada UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian yang menyatakan, Tugas pokok Polri Adalah: (a) memelihara keamanana dan ketertiban asyarakat; (b) Menegakkan hukum dan; memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat (Pasal 13).
Historikal, Pasal pada landasan konstitusional dan landasan hukum bertindak tersebut, bukan sebuah bungkus tanpa isi. Keduanya disarikan dari kehidupan bangsa Indonesia sendiri.
“Ayah” Kecelakaan
Minggu pagi, 17 Maret 2024, Kompol Jajang batal menerima kontak telepon, meski dia sudah janji sehari sebelumnya. “Saya lagi sakit Pak. Saya lagi pijit. Saya jatuh dari motor saat pulang dari santunan kemarin sore,” pesan singkat Jajang melalui telepon genggamnya.
Ketika terjatuh dari sepeda sepeda motor, dia pulang dari menyampaikan santunan kepada anak-anak yatim dan yatim – piatu. Oleh mereka yang disantuni, sosok Polisi itu akrab disapa “Ayah”.
Akibatnya kejadian itu, sebungkus mukenah yang baru saja ia beli dan sedianya akan diperuntukkan bagi “anak-anaknya” lainnya untuk salat tarawih, tak jadi tersampaikan malam itu.
Memang, Jajang sejak lebih dari lima tahun terakhir punya “kerja lain” di luar profesi polisinya. Penulis mengenalnya ketika bertugas di Bidang Humas, kemudian mutasi ke Inspektorat Pengawasan Daerah Polda Banten. Sebelumnya ia Kapolsek Cilegon, Polres Cilegon, Polda Banten.
Para personel Polri yang sudah bertugas sejak lama di Polda Banten, banyak yang akan cepat tahu menjawab ketika orang menyebut nama Kompol Jajang: “Pak Jajang yang ‘anaknya banyak’ itu kan?”
Jajang memang punya “anak banyak”. Jika dihitung-hitung sejak bertugas di Polsek Cilegon lebih dari lima tahun silam, jumlahnya tak kurang dari 400 orang. Mereka terdiri atas anak-anak dari keluarga miskin, anak yatim, yatim-piatu, dan anak difabel. Bahkan, ada pasangan orang tua tak mampu yang ia santuni.
“Tetapi sekarang sudah tinggal 205 orang. Bila sudah lulus SMP, mereka saya lepas, dan saya cari anak-anak di bawah usia itu yang patut disantuni,” kata Jajang, Sabtu siang (16/3/24).
“Anak-anaknya” tersebar di Kecamatan-kecamatan Cilegon, Jombang, (Kota Cilegon), Mancak, Gunungsari (Kota Serang), dan Mandalawangi di Kabupaten Pandeglang.
“Anak-anaknya” paling banyak dalam wilayah tempat Jajang bermukim, Cilegon. Di dekat-dekat persampahan di situ mereka bermukim. Jajang datang bersepeda motor, kemudian parkir dekat rel kereta. Dia sendiri yang memanggul paket-paket bantuannya untuk dibagi-bagikan kepada anak tak mampu yang terdiri atas anak yatim dan yaitm piatu.
Ia juga turun tangan langsung membuatkan toilet di rumah anak yatim-piatu yang tinggal bersama neneknya. Juga, dipasangkan penerangan listrik. Ada pula seorang anak disabilitas sejak lahir yang tinggal dengan neneknya, mendapat kursi roda.
Anak disabilitas ini sudah yatim-piatum ditinggal selama-lamanya oleh kedua orang tua yang berpulang ketika pandemi Covid-19 melanda wilayah tanah Air.
Dengan keberadaan sebagai seorang “Ayah”, akhir-akhir ini Jajang banyak “dikeluhkan” oleh “anak-anaknya”. Khususnya, sejak ia mutasi dari Itwasda menjadi Kepala Subbag Bindik SPN Polda Banten di Mandalawangi, Pandeglang.
Sekolah Polisi Negara ini jauh dari tempat tinggalnya di Cilegon. Dengan begitu, tak seperti sebelum-sebelumnya, anak-anak merasa kurang dikunjungi oleh Jajang.
Satu sisi sebagai seorang Polisi, Jajang harus siap ditugaskan di manapun oleh Negara. Di lain sisi, bukan saja “anak-anaknya”, ia sendiri juga merasa sudah sangat terikat dengan mereka.
Setiap hari pulang tugas dari SPN, waktunya tinggal sedikit untuk menyambangi mereka. Jajang buru-buru pulang agar bisa menyambangi mereka.
“Tetapi paling bisa ketemu dua - tiga orang saja. Biasanya, lebih,” aku Jajang, seperti dilakukanya ketika terjatuh dari sepeda motor, Sabtu sore (16/3/24).
Kalau boleh memilih, Jajang pilih kembali ke Polda Banten.
“Non job nggak apa-apa lah, asalkan lepas jam kantor bisa menemui anak-anak,” harap putra Garut, Jabar, kelahiran 3 April 1971 ini perihatin.
Ada lagi Kombes Pol Edy Sumardi (Akpol 1996), di mana pun pindah tugas di situ ia menjalankah kebiasaan yang seolah sudah menjadi kebutuhannya.
Sejak dua kali menjadi Kapolres di Kuansing dan Kampar, kemudian Walkapolresta Pekan Baru Riau, anak dari pasangan Serma TNI AL Soewardi Chan (alm) – H. Painawati (almh) ini, sudah mengembangkan aktivitas “Jumat Barokah”. Di Polda Banten, ia melalui kepemimpinan lima Kapolda.
Kegiatan tersebut kian menjadi-jadi ketika ia dipercaya menjadi Kepala Bidang Humas Polda Banten, lima tahun silam. Kemudian beralih menjadi Direktur Pamobvit sebelum kini menjadi Anjak Madya Bidang Pamobvit Korsabhara Baharkam Polri yang bermarkas bersebelahan dengan Markas Brimob Polri di Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat (Jabar).
Di Depok, usai salat Jumat (22/3/24), Edy langsung meluncur ke RT 4 RW 6 Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan. Ia berbagi bingkisan kepada, di antaranya seorang janda terlantar, anak-anak tak mampu yang masih duduk di bangku SD dan SMP. Juga, pekerja kebersihan lingkungan dan juru antar air mineral.
Ketika di Polda Banten ia menggerakkan “Jumat Barokah”, baik saat menjadi Kepala Bidang Humas mapun Dirpamobvit. Biasanya jelang salat Jumat ia turun langsung bersama Staf untuk berbagi bingkisan kepada warga tak mampu di rumah-rumah mereka di Kota Serang (ibu kota Banten) dan sekitarnya.
Lain waktu, banyak pekerja kasar dan pengemudi ojek pangkalan (opang) di tepi-tepi jalan dalam kota yang dibuat terkaget-kaget ketika dihampirnya, lantaran tak menduga didatangi polisi berbagi.
Di lain kesempatan, ia berbagi dan makan bareng Pekerja Harian Lepas (PHL) Mapolda Banten.
Selain menyisihkan dari kocek sendiri, uang yang diperoleh dari sumbangan amal para anggota Polri dan donatur tak tetap untuk “Jumat Barokah”, selalu dilaporkan ke publik melalui grup wa setiap habis jumatan.
Biasanya, sumbangan diterima melalui kotak kardus di depan pintu ruang kantornya, selain langsung dari para anggota ketika upacara pagi hari. Kini ia bertugas di Jakarta, namun “Jumat Barokah” di Banten tetap monumental.
Selain mengikuti panggilan nurani, Edy sejak kecil sebagai “anak kolong” sudah dilatih peka oleh almarhum Ayahnya.
“Meski kamu sudah melaksanakan tugas dengan baik, di mana kamu bertugas jangan lupa berbagi kepada orang-orang kecil dan kaum dhuafa,” kenang Edy yang semasa kecil berjualan jambu batu yang tanamannya tumbuh di pekarangan rumahnya kala itu tinggal di komplek TNI AL Ikan Hiu Jalan Bawal Ii No 14 Titipapan, Medan, Sumut ini.
Tak jauh beda dengan Edy ada “Abangnya”, Kombes Pol. Dr. Agus Tri Heryanto, S.I.K., M.H. Agus putra Kopral Bejo (alm), anggota TNI AD. Panggilan nuraninya terbina sejak masih kanak-kanak, lantaran lingkungan tempat ia dibesarkan, yaitu Panti Asuhan (PA). Ibunya seorang pekerja sosial dan pengelola PA di Cimahi, Jabar. Kini lulusan AkpoI 1993 ini, Kabag Log Korps Brimob Polri di Kelapa Dua.
“Di Cimahi, Ibu saya mengelola panti asuhan. Ayah saya seorang tamtama AD. Kehidupan di masa kecil itu telah menempa saya. Mungkin ini yang selalu membuat saya senantiasa ikhlas menjalani kehidupan bagaimana pun pahitnya,” ungkap Agus yang terus menyisihkan sebagian dari gajinya dalam membina Panti Asuhan “Cahaya” di Bandung.
Kepekaannya kian teruji, sehari-hari bergaul dengan anak-anak yatim dan yatim-piatu asal Timor Timur (Timtim). Mereka dibawa oleh Sang Ayah sepulang operasi di Timor Timur.
Ia masih ingat anak-anak yang kini sudah pada dewasa dan hidup terpisah darinya, seperti Duarte, Emilia, dan Yose.
“Hoegeng Award” dan Polisi
Saat ini sebuah media bekerja sama dengan Mabes Polri tengah menjaring usulan masyarakat tentang sejumlah anggota Polri yang pantas menerima “Hoegeng Award”.
Pemberian penghargaan yang untuk tahun 2024 merupakan yang ke-5 kalinya, menetapkan beberapa kategori, yakni Polisi Berintegritas, Polisi Inovatif, Polisi Berdedikasi, Polisi Pelindung Perempuan, Polisi Tapal Batas dan Pedalaman.
Seperti tahun-tahun lalu, mereka yang terpilih akan masuk nominasi, kemudian dinilai oleh para penilai yang antara lain datang dari kalangan masyarakat umum, Komisi Nasional Kepolisian, dan DPR RI.
Almarhum Hoegeng adalah Kapolri ke-5. Ia Polisi jujur, yang ketika meninggal dunia tak memiliki rumah dan kendaraan sendiri, jika tak diwujudkan oleh para juniornya.
Hoegeng seorang Polisi jujur sejak masih perwira pertama. Di tengah perjalan dari rumah menuju ke kantor, Ia kerap turun dari mobil dinasnya hanya untuk mengatur lalu-lintas kendaraan bermotor.
Dengan tindakannya itu, “Polisi yang dikenal tegas menolak dan menerima, baik langsung maupun tak langsung, sesuatu yang bukan haknya, serta banyak mempertimbangkan kepantasan dan moral itu”, bermaksud mengecek tugas-tugas anak buahnya di lapangan.
Hoegeng memang diakui oleh Polri dan publik sebagai Polisi jujur dan sederhana, dengan segala sikapnya, baik ketika bertugas dalam struktur Polri maupun di luar. Degan segala sikap dan prinsipnya, almarhum telah mengharumkan nama Polri di tengah tindakan-tindakan sejumlah anggota Polri yang tak terpuji baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun sebagai penegak hukum.
Akan tetapi, Jajang, Edy, dan Agus dengan segala kepeduliannya terhadap kehidupan anak yatim, yatim-piatu, serta kaum duafa, pasti tidak bertujuan agar suatu saat diberi “Hoegeng Award”.
Sebagai Polisi, ketiganya yang kini berusia 50-55 tahun itu, sudah meraih kepangkatan yang bermasa depan. Pendidikan Polisi dan umum pun sudah mereka raih yang tidak semua orang mencapainya.
“Non job tak jadi masalah, asalkan dapat selalu bersama anak-anak yatim dan yatim-piatu,” ungkapan batin Jajang seperti hendak mewakili polisi-polisi yang berbuat serupa di Tanah Air.
Penulis adalah Pemerhati Kebudayaan