Headline
Kabar Daerah
Tangerang
0
Balaraja Kota Industri: Surga bagi Elite, Neraka bagi Warga Lokal!
Balaraja – inovasiNews.com
Di balik gemerlapnya industri, masyarakat pribumi justru terpuruk. Pengangguran bukan lagi sekadar masalah, melainkan epidemi yang terus menggerogoti warga lokal. Dugaan kuat menyebut sistem rekrutmen di Balaraja telah lama dikuasai oleh praktik outsourcing berbayar, memaksa penduduk asli menjadi penonton di tanah kelahiran sendiri.
Menurut data opendata.tangerangkab.go.id, pada 2021 terdapat setidaknya 120 perusahaan industri resmi di Kecamatan Balaraja. Itu belum termasuk konveksi, home industry, dan perusahaan yang beroperasi di wilayah abu-abu hukum. Tapi ironisnya, pertanyaan ini tetap menggantung: Mengapa warga lokal masih banyak yang menganggur?
Di Kampung Tegal Ame, coretan di dinding menyuarakan frustrasi: "Percuma banyak pabrik, kalau pribumi masih banyak pengangguran" dan "Negeriku yang didirikan pejuang religius kini dikuasai pejabat rakus." Apakah ini sekadar keluhan atau tamparan keras bagi para penguasa?
Megahnya pabrik-pabrik di Balaraja seolah menjadi simbol kemajuan ekonomi. Namun, bagi masyarakat lokal, itu hanyalah dinding tinggi yang menutupi harapan. Lowongan kerja lebih banyak diperuntukkan bagi tenaga luar yang menyiapkan bayaran besar, sementara pemuda-pemuda Balaraja harus bertarung dengan sistem yang tak berpihak kepada mereka.
Kemana LPM? Dimana Karang Taruna? Ke mana badan-badan desa dan kecamatan? Apakah mereka hanya sekadar nama di papan organisasi tanpa keberpihakan nyata? Jika mereka benar-benar ada untuk masyarakat, seharusnya ada langkah konkret untuk membela tenaga kerja lokal dari cengkeraman outsourcing yang makin ganas.
Corporate Social Responsibility (CSR) bukanlah hadiah, melainkan kewajiban. Tapi di Balaraja, dampaknya hampir tak terasa. Jika benar CSR dijalankan dengan baik, mengapa pengangguran tetap merajalela? Ke mana aliran dana tersebut? Mengapa rakyat masih mengeluh?
Dugaan kuat menyebut bahwa CSR di Balaraja hanya sebatas formalitas. Uang miliaran rupiah yang seharusnya mengubah nasib warga diduga menguap entah ke mana. Transparansi? Jangan mimpi. Hingga kini, belum ada laporan terbuka yang benar-benar menjelaskan bagaimana dana CSR disalurkan dan siapa yang menikmatinya.
Jika CSR berjalan sebagaimana mestinya, warga Balaraja seharusnya tidak perlu merantau mencari pekerjaan. Seharusnya ada program pelatihan kerja, bantuan modal usaha, atau fasilitas pendidikan yang nyata. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: rakyat dibiarkan merana, sementara pihak tertentu diduga menikmati keuntungan di balik layar.
Keresahan ini pun mendapat tanggapan keras dari Ustaz Rustam, tokoh masyarakat Desa Saga, yang menegaskan bahwa diam terhadap ketidakadilan bukanlah pilihan bagi orang beriman. Ia mengutip sabda Nabi: "Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman." (HR Muslim 49).
Pemerintah kecamatan harus berhenti berpura-pura buta. Regulasi ketat harus dibuat agar perusahaan di Balaraja memprioritaskan tenaga kerja lokal. Program CSR harus diaudit secara terbuka agar masyarakat tahu ke mana seharusnya uang itu mengalir. Jika mereka yang berwenang masih memilih diam, jangan salahkan rakyat jika suatu hari nanti mereka turun ke jalan.
Balaraja bukan milik segelintir orang. Ini tanah bagi semua warganya. Jika ketidakadilan ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin generasi muda akan kehilangan kepercayaan pada pemimpinnya sendiri. Jangan biarkan Balaraja hanya menjadi kota industri tanpa jiwa. Jika para pemimpin tak segera bertindak, sejarah hanya akan mencatat mereka sebagai orang-orang yang membiarkan rakyatnya tenggelam dalam penderitaan.
(Oim)
Via
Headline