Headline
Kabar Daerah
Tangerang
0
Kemunafikan Hati: Penyakit yang Menggerogoti Keimanan
TANGERANG, InovasiNews.Com - Kemunafikan bukan sekadar ketidaksesuaian antara ucapan dan tindakan, tetapi sesuatu yang lebih dalam berakar di dalam hati. Seseorang bisa tampak saleh, berbicara dengan lembut, dan penuh kepedulian di depan banyak orang, tetapi jika niatnya tidak tulus atau ada kepentingan tersembunyi, itulah bentuk kemunafikan yang paling halus dan berbahaya.
Hati-hatilah soal hati, karena kemunafikan itu diukur dari hati, bukan dari sikap dan sifat kita dalam keseharian. Bisa jadi seseorang terlihat dermawan, baik hati, dan sopan, tetapi jika dalam lubuk hatinya ada niat tersembunyi entah itu untuk kepentingan duniawi, pencitraan, atau ingin dipuji maka semua amalnya kehilangan makna di sisi Allah.
Dalam Islam, kemunafikan terbagi menjadi dua jenis: munafik i’tiqadi dan munafik amali. Munafik i’tiqadi adalah orang yang tampak beriman tetapi sebenarnya tidak mempercayai Islam dalam hatinya. Ini adalah bentuk kemunafikan paling berbahaya karena mereka berpura-pura berada dalam barisan kaum Muslimin, padahal sejatinya mereka adalah musuh di dalam selimut. Allah berfirman:
"Di antara manusia ada yang berkata: ‘Kami beriman kepada Allah dan Hari Akhir,’ padahal mereka bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu diri sendiri tanpa mereka sadari." (QS. Al-Baqarah: 8-9)
Sedangkan munafik amali adalah mereka yang mengaku beriman tetapi memiliki sifat-sifat munafik dalam perilakunya. Rasulullah ï·º bersabda:
"Tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara, ia berdusta; jika berjanji, ia mengingkari; dan jika diberi amanah, ia berkhianat." (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun, yang lebih menakutkan dari itu adalah kemunafikan yang tumbuh tanpa disadari. Seseorang bisa rajin beribadah, banyak bersedekah, dan tampak sebagai orang baik, tetapi jika di dalam hatinya ada
riya (pamer), sum’ah (ingin dikenal), atau motif duniawi lainnya, maka amalnya bisa menjadi sia-sia. Inilah sebabnya mengapa menjaga kebersihan hati lebih penting daripada sekadar menjaga penampilan lahiriah.
Orang yang tampaknya saleh tetapi enggan menegakkan kebenaran atau diam terhadap kemungkaran sejatinya sedang menunjukkan bentuk kemunafikan yang lebih halus. Mereka ingin dipandang baik, tetapi keberpihakan mereka terhadap kebenaran tidak pernah jelas. Padahal Rasulullah ï·º mengingatkan:
"Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman." (HR. Muslim)
Diam terhadap kemungkaran bukan hanya tanda lemahnya iman, tetapi juga menunjukkan keberpihakan yang abu-abu. Lebih parah lagi jika diamnya bukan karena takut atau lemah, tetapi karena tidak ingin kehilangan citra baik di mata manusia. Ini adalah bentuk kepengecutan spiritual yang bertentangan dengan semangat Islam yang menuntut keberanian dalam membela kebenaran.
Allah juga mengecam orang-orang yang tampak saleh tetapi sebenarnya hanya mencari selamat dan keuntungan pribadi. Dalam Al-Qur’an, mereka digambarkan sebagai:
"Mereka itu seperti kayu yang tersandar..." (QS. Al-Munafiqun: 4)
Mereka mungkin terlihat tegak dan kokoh, tetapi sejatinya tidak memiliki pendirian. Ke mana angin bertiup, ke sanalah mereka mengikuti. Inilah wajah kemunafikan yang tersembunyi di balik topeng kebaikan.
Sikap ini sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Mereka yang senang berbicara tentang kebaikan tetapi tak pernah berani menegakkan kebenaran. Mereka yang sibuk menilai orang lain tetapi tidak berkontribusi dalam perubahan. Mereka yang hanya nyinyir di belakang tetapi tak pernah benar-benar turun tangan.
Ustaz Ahmad Rustam, seorang aktivis kerohanian sekaligus anggota DPD YLPK PERARI Provinsi Banten, menegaskan bahwa kemunafikan hati jauh lebih berbahaya dibanding kemunafikan dalam tindakan. “Orang yang lisannya santun, ibadahnya rajin, tetapi hatinya penuh kepentingan duniawi bisa jadi lebih merusak daripada mereka yang terang-terangan melakukan maksiat. Sebab, mereka menciptakan ilusi kesalehan yang menipu banyak orang,” ujarnya.
Ini bukan sekadar kelemahan, tetapi penyakit hati yang berbahaya. Orang-orang seperti ini menjadi penghalang bagi perjuangan Islam. Mereka menciptakan citra palsu tentang kesalehan, tetapi di saat yang sama mereka tidak memiliki keberanian untuk membela keadilan.
Jika benar-benar peduli terhadap Islam dan masyarakat, seharusnya kebaikan itu bukan hanya tampilan luar, tetapi harus dibuktikan dengan keberanian membela yang benar dan menolak yang salah.
Jika seseorang hanya ingin terlihat baik tetapi tidak pernah berbuat apa-apa, itu bukan kesalehan itu kemunafikan terselubung!. (Oim)
Via
Headline