Korupsi Dana Relokasi Kuburan di Sukajaya, Kejaksaan Lebak Diminta Serius!
Lebak inovasiNewos.com Kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan Dana Relokasi Kuburan di Desa Sukajaya, Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak, kembali mencuat. Kejaksaan Negeri Lebak mulai mendalami indikasi mark-up yang terjadi di bawah kepemimpinan Kepala Desa AS. Kasi Pidsus Kejari Lebak, Irfano Rukmana Rachim, SH, MH, menegaskan pihaknya telah memanggil saksi, termasuk Egi, guna mengumpulkan bukti dan petunjuk.
Namun, ini bukan kali pertama nama Desa Sukajaya tercoreng skandal korupsi. AS, saat menjabat sebagai kepala desa, diduga turut bermain dalam pengelolaan dana pembebasan Waduk Karian. Warga berinisial E bahkan mengaku diintimidasi dan dipaksa menyisihkan sebagian uang ganti rugi agar pencairan tidak dipersulit. Praktik pemerasan berkedok administrasi semacam ini jelas merupakan bentuk kezaliman.
Yang lebih ironis, dugaan penyimpangan anggaran ini terjadi dalam proyek relokasi kuburan sebuah ironi di mana uang rakyat yang seharusnya digunakan dengan amanah malah dijadikan bancakan. Jika benar terbukti, ini bukan hanya tindakan korupsi biasa, tapi juga penghinaan terhadap mereka yang telah berpulang.
Publik pun mempertanyakan, di mana fungsi pengawasan? Mengapa mekanisme kontrol terhadap anggaran desa bisa begitu longgar? Ataukah ini menandakan bahwa praktik lancung semacam ini sudah menjadi kebiasaan, bahkan dianggap wajar?
Ketika penyelidikan mulai berjalan dan bukti terkumpul, kekhawatiran lain mencuat: apakah kasus ini akan benar-benar diselesaikan, atau justru akan melempem di tengah jalan? Apakah Kejaksaan Negeri Lebak berani membuktikan taringnya, atau justru memilih jalan kompromi?
Ketua Umum YLPK-PERARI, Hefi Irawan, SH, MH, mengecam dugaan korupsi ini. “Jika benar dana relokasi kuburan diselewengkan, ini bukan sekadar perbuatan melawan hukum, tapi juga penistaan terhadap amanah rakyat. Tidak boleh ada kompromi dalam kasus seperti ini,” tegasnya.
Hefi menambahkan, korupsi semacam ini adalah bukti lemahnya pengawasan dan mentalitas kepemimpinan yang bobrok. “Jangan biarkan masyarakat kecil terus menjadi korban kerakusan elite. Hukum harus tegas dan memberikan efek jera, bukan sekadar formalitas,” lanjutnya.
Kasus ini seharusnya menjadi peringatan bagi Dinas Pendidikan Kabupaten Tangerang dan instansi terkait lainnya. Jika di tingkat desa saja penyelewengan bisa terjadi berulang, apa jaminan bahwa proyek-proyek pendidikan bernilai miliaran rupiah tidak mengalami nasib serupa?
Kepercayaan publik terhadap penegakan hukum sedang diuji. Kejaksaan Negeri Lebak tidak boleh bermain-main. Masyarakat menunggu aksi nyata, bukan sekadar janji manis yang akhirnya menguap di meja negosiasi.
Jika hukum benar-benar adil, maka semua pihak yang terlibat harus diseret ke meja hijau tanpa pandang bulu. Jangan sampai hukum kembali menunjukkan watak klasiknya: tajam ke bawah, tumpul ke atas!
( oim)