Pangkas Sana-Sini, Anggaran Makan Bergizi Gratis Bikin Bingung
Jakarta – inovasiNewos.com Program Makan Bergizi Gratis yang digagas Presiden Prabowo Subianto kembali menuai sorotan. Anggarannya membengkak dari perkiraan awal, hingga memaksa pemerintah memangkas Rp 306,6 triliun dari berbagai kementerian dan lembaga. Namun, ironisnya, tidak semua instansi terkena pemangkasan. Kebijakan ini menuai kritik karena dinilai tidak konsisten dan bisa berdampak pada program pembangunan lainnya.
Dilansir dari Detik.com, Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI, Wihadi Wiyanto, menjelaskan bahwa pemangkasan ini dilakukan demi memenuhi tambahan penerima manfaat program yang melonjak dari 17 juta menjadi 82,9 juta orang. “Prabowo mengatakan, ‘oke, tahun ini harus dilaksanakan untuk bisa semuanya terlaksana’,” ujarnya. Namun, dengan angka yang terus berubah-ubah, pertanyaan besar muncul: seberapa siap negara membiayai program ini?
Pada Januari 2025, Menteri Keuangan Sri Mulyani menerbitkan SE Menkeu Nomor S-37/MK.02/2025 yang mengatur efisiensi belanja kementerian dan lembaga. Sumber pendanaan untuk Makan Bergizi Gratis diambil dari pemangkasan anggaran berbagai sektor. Namun, tidak semua kementerian terkena dampak. Beberapa instansi seperti Kemenhan, Polri, dan Kejaksaan Agung justru lolos dari efisiensi ini.
Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, menilai kebijakan ini tidak merata. "Jika merujuk Inpres dan SE Menkeu, harusnya semua kena. Jika ada yang tidak dipotong, mestinya ada aturan baru," ujarnya. Direktur CELIOS, Bhima Yudhistira, menambahkan bahwa efisiensi ini justru kontradiktif. "Kementerian makin banyak, tapi ada efisiensi anggaran. Ini ironi," katanya.
Lebih jauh, angka kebutuhan dana untuk program ini juga simpang siur. Awalnya, Prabowo memperkirakan butuh Rp 460 triliun lebih. Kemudian, angka itu direvisi menjadi Rp 400 triliun, lalu Rp 500 triliun oleh tim ekonominya, dan kini tambahan Rp 100 triliun dari pemangkasan kementerian. Apakah ada transparansi dalam pengelolaan dana sebesar itu?
Ustad Ahmad Rustam turut menyoroti aspek keadilan dalam Islam. “Jika sebuah kebijakan diambil, ia harus adil bagi semua. Jangan sampai satu sektor dikorbankan demi yang lain tanpa perhitungan matang. Rasulullah mengajarkan keseimbangan, bukan kebijakan tambal sulam," ujarnya.
Pemangkasan anggaran yang tidak merata, sementara ada sektor yang tetap mendapat porsi penuh, bisa menjadi tanda ketidakadilan. Jangan sampai program yang diniatkan untuk menyejahterakan rakyat justru menjadi beban bagi sektor lain yang juga sangat penting,” ujarnya.
Lebih lanjut, beliau mengingatkan bahwa Rasulullah SAW mengajarkan prinsip keadilan dalam mengelola sumber daya. “Dalam Islam, seorang pemimpin tidak boleh hanya memikirkan citra atau kepentingan politik semata, tetapi harus benar-benar memastikan bahwa kebijakan yang diambil membawa manfaat bagi seluruh umat.
Kullu ra’in mas’ulun ‘an ra’iyyatihi: Setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya. Maka, hendaknya pemerintah benar-benar memperhitungkan dampak kebijakan ini secara luas, agar tidak ada yang terzalimi akibat perencanaan yang tergesa-gesa dan kurang transparan,” tegasnya.
Selain itu, dampak dari pemangkasan anggaran ini mulai terasa. Program pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur di berbagai daerah terancam terhambat. Pemerintah daerah yang mengandalkan dana transfer pusat kini harus menyesuaikan anggarannya, padahal kapasitas fiskal mereka berbeda-beda.
Bhima Yudhistira mengingatkan bahwa pemangkasan ini justru bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi. “Efisiensi anggaran memang perlu, tapi jika dilakukan tanpa strategi yang jelas, justru bisa berdampak buruk pada serapan tenaga kerja dan program-program daerah,” jelasnya.
Pemerintah memang memiliki niat baik untuk memastikan masyarakat mendapatkan akses gizi yang lebih baik. Namun, dengan besarnya dana yang diperlukan dan perencanaan yang masih berubah-ubah, perlu ada transparansi lebih lanjut agar tidak terjadi pemborosan anggaran yang merugikan banyak pihak.
Kita semua tentu mendukung program yang membawa manfaat bagi rakyat. Namun, kebijakan yang diambil harus berbasis perhitungan matang dan keadilan. Jangan sampai demi satu program, sektor lain dikorbankan tanpa kejelasan. Islam mengajarkan keseimbangan dan keadilan dalam pengelolaan keuangan.
Semoga kebijakan ini benar-benar membawa manfaat nyata, bukan hanya sekadar janji politik yang akhirnya membebani rakyat.
( oim )