Sampah di Kabupaten Tangerang Tak Kunjung Tuntas, Gempuran Hanya Sekadar Seremonial?
Tangerang inovasiNews.com– Isu sampah di Kabupaten Tangerang seakan tak pernah menemukan titik terang. Salah satu contoh nyata adalah tumpukan sampah di sepanjang Jalan Baru Sentiong, Desa Tobat, yang hingga kini tetap menggunung tanpa solusi konkret.
Hari ini, Rabu, 12 Maret 2025, UPT 2 DLHK Balaraja kembali melakukan pembersihan. Namun, hasilnya jauh dari kata tuntas. Sampah masih berserakan, seakan hanya dipindahkan dari satu titik ke titik lainnya.
Warga sudah lelah dengan janji-janji perbaikan yang tak pernah terealisasi. Ironisnya, mereka tetap diwajibkan membayar retribusi setiap bulan. Namun, fasilitas Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS) yang seharusnya tersedia justru nihil.
Sampah yang terus menumpuk ini bukan sekadar akibat minimnya kesadaran masyarakat. Tanpa adanya sistem pengelolaan sampah yang jelas, siapa pun akan kesulitan mencari tempat pembuangan yang layak. Jika tidak ada TPS, ke mana seharusnya warga membuang sampah mereka?
Lempar tanggung jawab pun menjadi pola yang berulang. UPT 2 DLHK Balaraja menyalahkan Desa Tobat, pihak desa melempar ke UPT, dan Kecamatan Balaraja memilih diam. Tidak ada satu pun pihak yang mau mengambil tanggung jawab penuh.
Ketika wartawan mencoba mengonfirmasi langsung ke DLHK Kabupaten Tangerang, yang terjadi justru pemandangan yang sudah sering terjadi. Seorang staf yang enggan disebutkan namanya hanya menyarankan agar wartawan bertanya langsung ke UPT 2 DLHK Balaraja.
Wartawan pun mendatangi kantor UPT 2 DLHK Balaraja. Namun, pihak UPT berdalih bahwa persoalan ini bukan wewenang mereka sepenuhnya. Mereka mengklaim bahwa penanganan sampah di wilayah tersebut membutuhkan koordinasi dengan pemerintah desa dan kecamatan.
Sementara itu, warga hanya bisa mengeluh dan pasrah menghadapi bau busuk serta pemandangan yang mengganggu. Jalan Baru Sentiong yang seharusnya menjadi akses utama kini lebih mirip tempat pembuangan sampah liar yang dibiarkan begitu saja.
Anggota Komisi II DPRD Kabupaten Tangerang, Deden Umardani, sebelumnya telah menyoroti ketidakseriusan DLHK dalam menangani masalah ini. Kritik ini tampaknya tidak digubris, terbukti dengan kondisi yang tetap sama dari tahun ke tahun.
Lebih dari 100 berita telah menyoroti masalah ini dalam tiga tahun terakhir. Namun, respons pejabat tetap monoton: janji, pertemuan, dan wacana tanpa aksi nyata. Sampah tetap menumpuk, pejabat tetap bungkam, dan warga tetap menanggung akibatnya.
Gunawan Wibisono, SH., Ketua LSM Adji Saka Indonesia, menilai ada indikasi penyimpangan anggaran dalam pengelolaan retribusi sampah. "Jika retribusi tetap dipungut tetapi solusi nihil, ini bukan lagi soal ketidakmampuan, melainkan dugaan kesengajaan," tegasnya.
Setiap rumah dikenakan retribusi Rp25.000 hingga Rp35.000 per bulan. Jika dihitung dari total rumah tangga, ruko, tempat usaha, hingga industri, jumlahnya tentu tidak sedikit. Dengan anggaran sebesar itu, alasan ‘kekurangan fasilitas’ terdengar semakin tidak masuk akal.
Ustad Ahmad Rustam, Kepala Kerohanian DPD YLPK Perari Provinsi Banten, turut mengecam ketidakpedulian pemerintah terhadap persoalan ini. "Islam mengajarkan kebersihan sebagai bagian dari iman. Jika pemangku kebijakan menutup mata terhadap sampah ini, bagaimana bisa dipercaya mengurus rakyatnya?" tanyanya tajam.
Warga pun mulai mempertanyakan transparansi dana retribusi sampah. Inspektorat, BPK, hingga APH (Aparat Penegak Hukum) seharusnya tidak lagi berpangku tangan. Jika dugaan penyimpangan ini benar adanya, maka sudah saatnya ada langkah tegas.
Ini bukan sekadar persoalan lingkungan, tetapi juga soal keadilan sosial. Warga telah membayar retribusi dengan harapan mendapatkan lingkungan yang bersih, tetapi yang mereka terima justru kebijakan yang setengah hati.
Kabupaten Tangerang bukan daerah miskin yang kekurangan sumber daya. Dengan pengelolaan yang profesional dan transparan, sampah bukan masalah yang sulit diatasi. Namun, selama tidak ada niat serius, sampah di Jalan Baru Sentiong akan terus menjadi bukti kegagalan tata kelola.
Jika pemerintah daerah tetap bungkam, apakah warga harus turun tangan sendiri? Haruskah sampah ini menjadi bukti nyata bahwa kebijakan publik telah kehilangan arah?
Jangan sampai persoalan ini hanya berakhir di meja rapat dan liputan media. Jika tak ada perubahan nyata, bukan tidak mungkin warga akan menuntut pertanggungjawaban lebih dari sekadar janji kosong.
( Oim )