Aura Cinta: Gaya Hedonis di Tengah Kemiskinan, Pelajaran Penting Tentang Akhlak Anak Bangsa
inovasiNews.com Fenomena memilukan kembali menyeruak dari bantaran kali Cikarang. Aura Cinta, seorang remaja yang mengaku hidup dalam kemiskinan setelah menjadi korban penggusuran, justru menampilkan wajah lain: gaya hidup hedonis yang bertolak belakang dengan narasi nestapa yang ia suarakan.
Dalam perdebatan panas dengan Dedi Mulyadi, Aura tidak hanya menuntut keadilan atas rumahnya yang digusur, tetapi juga bersikeras meminta agar acara wisuda dan perpisahan sekolah tetap dilaksanakan. Ironisnya, di tengah klaim kesulitan membayar kontrakan, Aura tanpa ragu menyebutkan bahwa biaya wisuda itu hanya "cuma sejutaan doang, satu juta dua ratus."
Pernyataan itu seolah menusuk logika publik. Bagaimana bisa, seorang yang katanya tak mampu untuk sekadar membayar kontrakan, menganggap pengeluaran tambahan sebesar jutaan rupiah sebagai sesuatu yang sepele? Sebuah pertunjukan sikap yang menunjukkan adanya dugaan kurangnya kepekaan sosial dan keprihatinan diri.
Kenyataan ini menjadi potret buram pendidikan akhlak generasi muda saat ini. Bukan hanya tentang materi, tapi tentang bagaimana anak-anak memahami prioritas dalam kehidupan: antara kebutuhan pokok dan keinginan semu untuk bergaya.
Dedi Mulyadi, dalam perdebatan itu, secara tegas menegur sikap Aura. "Kalau buat kontrakan aja gak punya, ngapain protes wisuda harus ada? Hidup tuh jangan sombong gitu," katanya, mengingatkan pentingnya logika sederhana dalam menghadapi realita hidup.
Sikap Aura, yang memaksakan kehendak demi sebuah pesta perpisahan sekolah, menggambarkan bagaimana gaya hidup konsumtif telah merasuki bahkan mereka yang berada dalam kondisi ekonomi paling rentan. Miskin dalam harta, tapi kaya dalam tuntutan gaya hidup sebuah fenomena tragis yang terus berulang dalam masyarakat kita.
Di akhir perdebatan, fakta yang semakin membuka mata publik adalah ketika Aura, yang sebelumnya mengaku miskin, tertangkap memotret menggunakan ponsel mewah iPhone dengan tiga kamera di belakangnya. Sebuah ironi yang mencolok di tengah tangisan kemiskinan yang coba dijual ke publik.
Ustad Ahmad Rustam, aktivis kerohanian dan anggota DPD YLPK PERARI Provinsi Banten, turut menyoroti kasus ini. “Anak-anak seperti Aura adalah contoh nyata kemiskinan akhlak. Bukan hanya sekadar soal tidak punya uang, tapi juga soal ketidakmampuan memilah mana yang kebutuhan dan mana yang sekadar nafsu bergaya. Inilah bahayanya ketika pendidikan akhlak diabaikan,” ujar Ustad Ahmad Rustam.
Ia menambahkan, “Dalam Islam, kita diajarkan untuk mendahulukan kebutuhan pokok daripada berhias dalam kemewahan. Anak-anak kita harus dibimbing untuk hidup sederhana, bukan malah memaksakan diri tampil hedon sementara perut kosong dan rumah tak ada.”
Kasus Aura membuka mata kita semua, bahwa dalam menghadapi tantangan zaman ini, pendidikan akhlak jauh lebih penting daripada sekadar pendidikan formal. Tanpa akhlak, kemiskinan tidak akan melahirkan kesabaran dan perjuangan, melainkan kesombongan yang justru memperparah penderitaan.
Harapan besarnya, peristiwa ini bisa menjadi cermin bagi seluruh orang tua, guru, dan masyarakat untuk lebih serius membimbing generasi muda. Agar anak-anak tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga kuat secara moral dan tahu menempatkan harga diri di atas keinginan semu.
(Oim)