Bongkar Modus Penarikan Paksa, PT BSN dan MUF Disorot: Aparat Hukum Diminta Turun Tangan!
Tanggerang — inovasiNews.com Aksi penarikan kendaraan bermotor oleh pihak yang mengaku sebagai agen penagih dari PT Bintang Sinergi Nusantara (BSN) kembali memicu kegelisahan publik. Korbannya kali ini seorang santri kobong yang tengah mengantar istrinya kerja shift sore. Delapan orang menghadang di kawasan Pasir Gadung dan langsung menarik motor milik korban tanpa aba-aba, tanpa surat pengadilan, dan tanpa prosedur hukum yang sah.
Mirisnya, proses penarikan ini hanya berbekal selembar Berita Acara Serah Terima Kendaraan (BASTK) tanpa kop surat resmi. Apakah ini penegakan hukum atau justru praktik ala jalanan yang dibungkus legalitas semu?
Warga geram. Mereka mempertanyakan: di mana peran aparat hukum? Polsek? Polres? OJK? Semua seolah menutup mata.
Kurang dari satu jam setelah peristiwa, unit kendaraan itu sudah berada di kantor Mandiri Utama Finance (MUF) Cabang Cikupa. Seorang karyawan berinisial ARF menyebut bahwa MUF telah membayar Rp1,8 juta kepada PT BSN sebagai “biaya penarikan”. Fakta ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah MUF mengetahui dan menyetujui aksi penarikan paksa di lapangan?
Ketika keluarga korban mencoba mediasi ke kantor MUF, mereka kembali dikejutkan. Tak hanya diminta melunasi dua bulan angsuran, tapi juga harus membayar Rp1,8 juta yang sebelumnya dibayarkan MUF ke PT BSN. Bukannya memberi solusi, korban justru terjerat eksploitasi.
Anehnya, setelah mediasi, korban akhirnya hanya diminta membayar tunggakan angsuran tanpa membayar biaya penarikan. Hal ini justru menegaskan dugaan bahwa MUF melegitimasi penarikan sepihak oleh pihak ketiga. Alih-alih menindak pelanggaran, mereka memilih “menyelesaikan” secara internal membiarkan cacat prosedur disapu di bawah karpet.
Padahal, dalam praktik pembiayaan, pihak ketiga seperti PT BSN hanya bisa bergerak jika menerima surat tugas resmi dari leasing, dalam hal ini MUF. Maka, jika terjadi intimidasi, penarikan tanpa surat, atau dugaan pelanggaran hukum, tanggung jawab melekat pada pemberi kuasa, bukan hanya eksekutor lapangan.
Pungli Bermodus Blokir? Kantor Pusat MUF Harus Bertindak!
Korban bahkan mengaku sudah pernah datang ke kantor MUF pada 28 Februari 2025 untuk meminta keringanan karena keterlambatan pembayaran. Namun bukannya diberi solusi, korban justru diminta membayar Rp1 juta hanya untuk membuka blokir. Setelah negosiasi alot, akhirnya dibayar Rp500 ribu.
Tapi pertanyaannya: apa dasar hukum dari pungutan tersebut? Mengapa biaya blokir bisa semahal itu? Apakah ini regulasi resmi atau kebijakan sepihak di tingkat cabang?
Jika benar tidak ada dasar legal dan akuntabel, maka ini bukan sekadar pelanggaran etika ini potensi pungli berkedok administrasi. Kantor pusat MUF wajib segera turun tangan. Jika tidak, patut dipertanyakan: apakah pusat sengaja tutup mata, atau justru membiarkan praktik semacam ini menjamur di cabang-cabangnya?
Ustadz Ahmad Rustam, aktivis kerohanian dan anggota DPD YLPK PERARI Provinsi Banten, angkat suara.
“Ini bukan sekadar perkara ekonomi, ini sudah masuk ranah kezaliman. Islam melarang keras segala bentuk pemaksaan dan intimidasi. Negara harus hadir! Jangan biarkan hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas,” tegasnya di Balaraja.
Sementara itu, mengacu pada KBLI 82911, perusahaan penagihan hanya boleh melakukan penagihan lewat surat resmi, telepon, atau kunjungan yang sesuai SOP. Mereka tidak berwenang menarik paksa kendaraan, apalagi dengan pengeroyokan. Tapi yang terjadi di lapangan justru sebaliknya.
Jika mengacu hukum pidana, tindakan tersebut berpotensi melanggar:
- Pasal 368 KUHP tentang pemerasan,
- Pasal 365 KUHP tentang pencurian dengan kekerasan,
- Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan,
- Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan.
Semua unsur telah terpenuhi. Tapi mengapa aparat masih diam?
Aminudin Al Ikhlasi, Wakil Ketua LMPI MAC Balaraja, juga bersuara lantang:
“Kami tak akan tinggal diam melihat warga diperlakukan seperti penjahat. Jika aparat tak bertindak, kami siap kawal proses hukum sampai tuntas. Ini Indonesia, bukan rimba belantara tanpa aturan!”
Dalam kacamata perlindungan konsumen, UU No. 8 Tahun 1999 dengan tegas melarang pemberian kuasa mutlak yang memungkinkan leasing menarik barang secara sepihak. Pelanggarnya diancam hukuman penjara hingga 5 tahun dan denda Rp2 miliar.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019 pun mempertegas: eksekusi objek fidusia harus melalui pengadilan, bukan oleh leasing atau pihak ketiga secara sepihak di jalanan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pengawas industri pembiayaan juga tak boleh berdiam. Jika PT BSN terbukti tidak memiliki izin operasional sesuai klasifikasi KBLI 82911, OJK wajib bertindak tegas bahkan mencabut izin dan melaporkan ke penegak hukum.
Kasus ini bukan yang pertama. Sudah menjadi pola. Maka media menyerukan:
Usut tuntas praktik penarikan paksa berkedok legalitas ini! Jangan biarkan jalanan berubah menjadi ruang eksekusi liar oleh oknum berkedok perusahaan. Jika hukum tidak hadir untuk rakyat kecil, lalu untuk siapa hukum ditegakkan?
(Oim)