Desakan Gelar Perkara Kasus Cash Back PWI Menggema: Di Mana Nurani Penegak Hukum?
JAKARTA – inovasiNews.com Suara keadilan kembali menggema dari kalangan wartawan sendiri. Helmi Burman, anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat, dengan mata yang tak lagi menyimpan harap kepada jalur damai, berdiri tegas di hadapan penyidik Polda Metro Jaya. Ia menolak mentah-mentah penyelesaian kasus dugaan cash back di tubuh PWI lewat mekanisme Restorative Justice (RJ). “Sudah cukup basa-basi,” ungkapnya lirih tapi pasti.
Langkah Helmi bukan tanpa alasan. Di belakangnya, berdiri kokoh para pimpinan PWI Pusat, termasuk Ketum Zulmansyah Sekedang, Sekjen Wina Armada Sukardi, dan tokoh-tokoh pers nasional lainnya. Mereka semua satu suara: desak gelar perkara! Sebab keadilan tak seharusnya diselesaikan di meja mediasi, jika dugaan pelanggaran etik dan hukum terus membusuk tanpa penyelesaian tuntas.
Dalam surat bernomor B/7630/III/RES.1.11/2025/Direskrimum, penyidik mengundang Helmi untuk membicarakan potensi RJ, sesuai Perpol Nomor 8 Tahun 2021. Tapi Helmi dan jajaran PWI menegaskan bahwa mekanisme hukumlah yang paling layak menjadi jalur penyelesaian. Apakah keinginan mencari damai bisa berdiri di atas reruntuhan kepercayaan ribuan wartawan?
Zulmansyah mengingatkan, upaya damai sudah berkali-kali dicoba. Bahkan Menteri Hukum RI dan Wamenkominfo Nezar Patria turut turun tangan. Namun, semua itu kandas di tangan satu kepentingan: kehendak sepihak dari HCB yang tak mau melepas kendali. “Ini bukan soal ego. Ini soal etika dan integritas organisasi,” katanya getir.
HCB, dalam dugaan yang beredar, berusaha memasukkan Plt-plt Ketua PWI Provinsi pilihannya sebagai peserta Kongres. Sebuah langkah yang disebut melabrak PD PRT PWI dan merobek hasil Konferprov yang sah. Apakah ini cerminan kepemimpinan, ataukah manuver yang menjadikan organisasi sekadar alat kekuasaan?
Atal S Depari, mantan Ketum PWI, tak kuasa menahan keprihatinan. “Segera saja gelar perkara. Ratusan ribu mata wartawan sedang menunggu kejelasan,” katanya penuh beban. Sebab selama kasus ini digantung, nama baik PWI ikut tergadai di ruang publik.
Helmi Burman bukan siapa-siapa dibanding megahnya institusi penegak hukum. Tapi suaranya mencerminkan luka kolektif. “Kami tidak butuh RJ. Kami butuh keadilan,” ujarnya lirih. Sayangnya, langkah hukum yang mestinya menjadi panglima, seolah-olah sedang dikebiri oleh skema damai yang membius.
Lebih menyakitkan lagi, ini bukan semata soal uang. Ini soal marwah. Seorang Ketum PWI sudah dua kali disidangkan Dewan Kehormatan dan dinyatakan bersalah. Bukan sekali, dua kali! Diberi teguran keras, lalu diberhentikan penuh sebagai anggota. Bukankah ini seharusnya menjadi sinyal darurat?
“Tidak mungkin DK menjatuhkan sanksi berat tanpa bukti kuat,” tegas Atal. Tapi anehnya, ketika bukti dan sanksi sudah jelas, justru proses pidananya hendak dipadamkan dengan RJ. Di mana rasa malu para penegak keadilan saat moral publik digadaikan demi perdamaian semu?
Putusan Dewan Kehormatan memang bersifat final dan konstitusional. Tapi bagaimana dengan hukum positif? Apakah kepolisian akan terus bersembunyi di balik regulasi RJ untuk menunda-nunda proses ke pengadilan?
Jika aparat penegak hukum membiarkan perkara ini didamaikan di luar pengadilan, maka bukan hanya marwah PWI yang dipertaruhkan, tetapi kepercayaan publik terhadap integritas aparat. Karena dalam kasus ini, publik menunggu, bukan basa-basi, tapi pembuktian: apakah hukum masih tegak?
InovasiNews.com menutup laporan ini dengan sebuah harapan sederhana: semoga keadilan tidak hanya menjadi jargon di baliho-baliho lembaga hukum, tapi benar-benar hadir membela nurani publik.
Dan semoga, di tengah kabut kepentingan, masih ada setitik cahaya keberanian untuk menegakkan kebenaran. Sebab wartawan pun berhak mendapatkan keadilan bukan sekadar narasi.
(Red/oim)