Dugaan Setoran Mengemuka, Camat Balaraja Tiba-tiba Tertibkan PKL di Jalan Sentiong
Tanggerang – inovasiNews.com Langkah mendadak Camat Balaraja, Willy Patria, yang akan melakukan penertiban pedagang kaki lima (PKL) di sepanjang Jalan Raya Sentiong menuju kawasan PT Adis pada Rabu, 23 April 2025, memantik tanda tanya besar. Pasalnya, kawasan tersebut sudah bertahun-tahun menjadi lokasi lapak liar tanpa tersentuh penegakan aturan.
Ironisnya, penertiban baru muncul setelah beredar kabar mengenai dugaan pungutan liar yang selama ini mengalir dari para pedagang ke oknum pengurus di tingkat desa hingga kecamatan. Dugaan ini seolah menjadi puncak gunung es yang selama ini disembunyikan rapat, namun kini mulai terkuak setelah salah satu penyewa lapak buka suara.
Seorang pedagang yang meminta identitasnya dirahasiakan mengungkapkan bahwa mereka diminta membayar uang “registrasi titik lapak” hingga Rp2 juta. Belum lagi kewajiban menyetor Rp500 ribu setiap bulan untuk sewa, serta iuran harian Rp10 ribu untuk listrik dan pengelolaan sampah. Jika benar, ini jelas bukan praktik pemberdayaan rakyat kecil, tapi peras rakyat kecil.
Camat Balaraja berdalih, penertiban dilakukan karena keberadaan PKL dianggap mengganggu ketertiban warga dan pengguna jalan. Namun publik bertanya: mengapa baru sekarang? Apakah karena desakan warga, atau karena aroma dugaan setoran liar mulai tercium publik dan media?
Lebih jauh, Camat mengklaim telah memanggil para PKL dan pengelola pasar Sentiong untuk berdialog sebelum pelaksanaan penertiban. Pernyataan normatif ini seharusnya diiringi dengan transparansi data: siapa pengelola pasar yang selama ini memungut uang dari PKL? Siapa pula yang memberikan izin diam-diam atas keberadaan mereka?
Kalau memang penegakan Perda tentang ketentraman dan ketertiban umum ingin ditegakkan, publik mendesak agar jangan hanya PKL yang disalahkan. Oknum pemberi dan penerima "izin liar" juga harus dibongkar dan diproses sesuai hukum yang berlaku.
Masyarakat juga mendesak agar proses penertiban tidak dijadikan ajang “bersih-bersih nama” oleh pejabat yang terindikasi pembiaran sebelumnya. Jangan sampai ini hanya strategi kosmetik untuk menutupi dugaan setoran gelap yang selama ini menghidupi oknum tertentu.
Sementara itu, Ketua LSM Geram, Alamsyah, mengapresiasi rencana penertiban dengan alasan mengurai kemacetan dan kekumuhan. Namun ia juga perlu mendorong agar kasus ini tak hanya berhenti pada soal ketertiban, tapi juga penegakan keadilan: siapa yang memungut, siapa yang menikmati?
Jika aparat hanya menyasar rakyat kecil tanpa membongkar akar permainan di belakang lapak-lapak liar itu, maka ini bukan penegakan hukum, tapi pengalihan isu yang menyakitkan akal sehat publik.
Pihak Kepolisian dan Inspektorat Daerah perlu turun tangan menyelidiki lebih dalam dugaan praktik rente liar yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Ini bukan soal lapak di bahu jalan, ini soal sistem yang membiarkan ruang publik dikuasai oleh logika setoran.
Dan jika benar ada oknum aparatur desa hingga kecamatan yang menikmati pungutan ilegal dari rakyat kecil, maka tidak ada alasan untuk tidak menyeret mereka ke ranah hukum. Karena hukum tidak hanya tajam ke bawah ia harus juga tajam ke atas, bila masih ingin disebut adil.
Rakyat Balaraja menunggu bukan hanya pengosongan bahu jalan dari pedagang, tapi juga pembersihan moral dari pejabat yang memperdagangkan jabatan demi lembaran rupiah. Dan untuk itu, media, LSM, dan publik harus terus mengawasi.
(Oim)