GAZA MASIH BERDARAH: Kejahatan Kemanusiaan Mengguncang Nurani
Tangeranb - inovasiNews.com Gaza kembali berlumur darah. Ribuan jiwa telah berguguran, termasuk anak-anak, perempuan, dan warga sipil tak berdosa. Dalam serangan yang disebut sebagai “respons militer”, Israel kembali membombardir wilayah Gaza, membenamkan harapan rakyat Palestina dalam gelombang api dan reruntuhan. Sementara itu, dunia internasional masih bergulat dalam retorika dan diplomasi tanpa ujung, tak kunjung menyelamatkan kemanusiaan yang sedang sekarat.
Kejahatan perang kembali mencuat. Sejak Oktober 2023, lebih dari 50.000 warga Palestina dilaporkan tewas, dan lebih dari 113.000 lainnya terluka akibat serangan militer yang terus dilancarkan ke wilayah sipil. Rumah sakit, masjid, dan sekolah tak luput dari kehancuran. Bahkan, blokade total terhadap Gaza diduga telah memicu kelaparan massal dan krisis kemanusiaan terbesar abad ini.
Warga sipil tak hanya menjadi korban ledakan, tapi juga korban diamnya dunia. Media internasional arus utama diduga cenderung mengecilkan skala tragedi, sementara organisasi hak asasi manusia terus menyerukan investigasi mendalam atas pelanggaran berat yang terjadi di Jalur Gaza.
Di tengah bara kehancuran, anak-anak Gaza tetap bernyanyi lirih, memohon “Atuna Tufuli – Berikan kami masa kecil kami”. Seruan itu bukan hanya puisi. Itu adalah jeritan nurani yang seharusnya menggugah pemimpin dunia, pemangku kebijakan, dan seluruh umat manusia yang masih memiliki hati. Namun hingga kini, suara itu seolah bergema di ruang hampa.
Sementara itu, komunitas internasional masih berkutat pada resolusi yang tak kunjung ditegakkan. Dugaan kegagalan lembaga internasional, termasuk PBB, dalam melindungi warga sipil semakin memperkuat sentimen bahwa hukum internasional hanya tajam ke satu arah: mereka yang lemah.
Uni Eropa memang telah menjanjikan bantuan pemulihan senilai €1,6 miliar untuk Palestina. Namun, bantuan tanpa jaminan perlindungan hanyalah pelipur lara. Bantuan yang tidak dibarengi dengan tekanan nyata terhadap pihak penyerang akan berujung pada siklus kekerasan yang berulang.
Indonesia, sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, seharusnya lebih lantang bersuara. Namun sayangnya, pernyataan resmi yang keluar terkesan normatif. Tidak cukup tajam untuk menohok pelaku, tidak cukup menggugah dunia agar bergerak. Di sinilah kritik perlu diarahkan kepada penegak diplomasi kita: di mana keberanian moral Indonesia?
Sikap lembek terhadap tragedi kemanusiaan bukan netralitas. Itu adalah pembiaran. Dan pembiaran terhadap kekejaman adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan konstitusi Indonesia sendiri, yang menjunjung tinggi kemerdekaan dan hak asasi setiap bangsa.
Media nasional pun layak dikritik. Narasi-narasi yang muncul seolah lebih fokus pada konflik politik, bukan pada penderitaan rakyat. Pemberitaan minim suara korban, minim empati, dan minim keberpihakan terhadap mereka yang dijajah. Di manakah keberanian jurnalis yang dulu dikenal tajam membela kebenaran?
Berikut adalah lanjutan narasi dengan paragraf tambahan memuat pernyataan Ustad Ahmad Rustam, seorang aktivis kerohanian dan anggota DPD YLPK PERARI Provinsi Banten, disisipkan secara elegan dan kritis, tetap dalam gaya bahasa sebelumnya:
Dalam wawancara terpisah, Ustad Ahmad Rustam, aktivis kerohanian sekaligus anggota DPD YLPK PERARI Provinsi Banten, menyampaikan keprihatinan mendalam atas tragedi kemanusiaan yang menimpa rakyat Palestina. Ia menegaskan bahwa “diam terhadap kezaliman adalah bentuk pengkhianatan terhadap ajaran Islam dan nilai-nilai kemanusiaan universal.”
“Kita bukan hanya dituntut untuk bersimpati, tapi untuk bertindak. Minimal dengan suara, tulisan, dan tekanan moral terhadap mereka yang berkuasa. Jangan biarkan darah anak-anak Palestina mengering tanpa perlawanan moral dari kita,” tegasnya.
Ustad Rustam juga menyinggung soal dugaan sikap lembek umat Islam di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, dalam merespons tragedi ini. “Kita terlalu sibuk dengan urusan duniawi, hingga lupa bahwa di Gaza, anak-anak kita sesungguhnya sedang disembelih di depan mata kita. Mana suara para pemimpin? Mana suara para ulama besar yang katanya pembela umat?” tanya beliau, penuh nada prihatin.
Menurutnya, lagu-lagu seperti Atuna Tufuli dan We Will Not Go Down bukan hanya ekspresi seni, tapi seruan spiritual dan politis yang mengguncang kesadaran. “Itu dzikir mereka di tengah bom. Sementara kita berdzikir di atas karpet empuk tanpa sedikit pun rasa malu.”
Ia pun mengajak para tokoh agama, akademisi, dan media untuk lebih lantang dalam menyuarakan kebenaran. “Jangan takut disebut provokator ketika kita membela korban. Takutlah ketika kita diam dan justru menjadi bagian dari pembiaran. Ini bukan soal politik, ini soal iman dan akhlak,” pungkasnya.
Jika benar kita bangsa yang beradab, maka tragedi Gaza bukan sekadar isu luar negeri. Ia adalah ujian nurani dan komitmen kita pada kemanusiaan. Diam adalah kekalahan, dan diam adalah restu tidak langsung terhadap penderitaan anak-anak yang hanya ingin hidup dan bermain, seperti anak-anak kita sendiri.
Dugaan kebungkaman negara-negara besar, kealpaan institusi internasional, serta sikap ambigu pemimpin-pemimpin muslim dunia seakan menunjukkan bahwa diplomasi kini lebih takut pada kekuatan senjata dibanding jeritan anak-anak yang terkubur hidup-hidup.
Sebuah lagu terdengar lirih dari reruntuhan: “We will not go down in the night…”. Gaza tak tunduk. Tapi dunia? Dunia telah lama tunduk pada ketakutan, kekuasaan, dan kepentingan. Maka, mari kita yang masih waras, yang masih punya iman dan hati, berdiri membela mereka yang tidak punya perlindungan dengan pena, suara, dan keberanian.
Karena jika kita diam hari ini, barangkali kelak ketika dunia menangis untuk kita, suara itu akan tenggelam sama seperti suara Gaza: dalam sunyi yang mematikan.
(Oim)