Kantor Keagamaan Bersama Disulap Jadi Pusat Aromaterapi Sampah, UPT 2 DLHK Balaraja Tersenyum Tipis
Tanggerang, inovasiNews.com. Persoalan sampah di Kecamatan Balaraja, Kabupaten Tangerang, kini menjadi potret buram tata kelola lingkungan hidup yang patut dipertanyakan. Tumpukan sampah berserakan di berbagai titik, mulai dari jalan protokol hingga pemukiman padat, menimbulkan bau menyengat dan keresahan warga.
Ironisnya, salah satu titik yang paling mencolok justru berada tepat di sekitar Gedung Bersama Keagamaan yang menjadi kantor UPT 2 Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Balaraja. Box container yang penuh dengan sampah yang mengeuarkan aroma sedap khas sampah, berdampingan dengan truk pengangkut sampah, menjadi pemandangan sehari-hari yang memprihatinkan.
Gedung yang dibangun dengan anggaran ratusan juta rupiah dari APBD tersebut kini seolah kehilangan marwahnya. Alih-alih menjadi simbol kolaborasi antarinstansi dan penguatan nilai-nilai keagamaan, bangunan itu justru diduga menjadi ikon kelalaian pengelolaan lingkungan yang kumuh dan berbau.
Pantauan ajisaka.news di lapangan menemukan tumpukan sampah menahun di sejumlah desa seperti Tobat, Balaraja, dan Saga. Di Jalan Baru Sentiong, Desa Tobat, gunungan sampah sudah menjadi langganan keluhan warga sejak beberapa tahun terakhir, bahkan sejak pergantian kepala UPT 2 DLHK hingga saat ini belum menunjukkan perubahan.
“Setiap hari lewat sini, baunya bikin mual. Apalagi kalau siang hari, matahari terik, makin menyengat,” ujar salah satu warga setempat yang tiap hari melintasi jalan tersebut untuk berdagang.
Camat Balaraja, dalam beberapa kesempatan, dikabarkan telah memimpin forum lintas instansi membahas persoalan sampah. Namun, hingga kini belum ada langkah konkret yang terlihat. Camat bahkan sempat mengakui bahwa koordinasi antar-lembaga belum menemukan formula yang efektif.
Dari sisi legislatif, Anggota DPRD Kabupaten Tangerang, H. Deden Umardani, menyayangkan kondisi ini. Ia mengaku pernah berdiskusi langsung dengan pihak DLHK Kabupaten. "Kalau memang serius, mestinya sudah ada TPST atau sistem pengelolaan terintegrasi. Tapi ini malah terkesan saling lempar tanggung jawab," katanya.
Sikap yang ditunjukkan Kepala Dinas DLHK Kabupaten pun menjadi sorotan. Saat dikonfirmasi oleh media lokal, ia diduga justru melempar tanggung jawab kepada desa dan kecamatan. Hal ini menuai kritik publik karena dinilai sebagai bentuk penghindaran tanggung jawab institusional.
Dugaan minimnya inisiatif pun tampak dari absennya pengajuan pembangunan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) di Balaraja. Padahal wilayah ini memiliki kepadatan penduduk tinggi dan berbatasan langsung dengan kawasan industri, yang notabene menghasilkan limbah dalam jumlah besar.
Warga Balaraja mengaku rutin membayar retribusi sampah setiap bulan, berkisar antara Rp25.000 hingga Rp35.000 per rumah. Jumlah ini belum termasuk pungutan dari ruko, kios, dan sektor industri. Namun dugaan ketimpangan antara besaran retribusi dan layanan yang diterima terus menjadi sorotan.
"Sudah bayar tiap bulan, tapi sampah tetap menumpuk. Kita ini masyarakat bukan tempat pembuangan," keluh Yanti, warga Perumahan di Kecamatan Balaraja.
Pertanyaan publik pun mencuat: ke mana sebenarnya aliran dana retribusi itu? Mengapa belum ada perbaikan menyeluruh dalam sistem pengangkutan dan pengelolaan sampah yang berdampak nyata bagi warga?
Ustaz Ahmad Rustam, tokoh masyarakat sekaligus aktivis kerohanian Balaraja, turut mengkritisi kondisi ini. Menurutnya, masalah sampah adalah cermin keimanan para pemimpin. “Kebersihan adalah bagian dari iman. Kalau pemimpin tidak mampu menjaga kebersihan wilayahnya, perlu dipertanyakan kesungguhannya dalam mengemban amanah,” ucapnya.
Ia menambahkan bahwa membiarkan masyarakat hidup di tengah tumpukan sampah sama halnya dengan membiarkan mereka hidup dalam ketidakberdayaan dan kehinaan. "Rasulullah mengajarkan menyingkirkan duri dari jalan adalah bagian dari iman. Lantas bagaimana dengan gunungan sampah?"
Kini, masyarakat Balaraja berharap adanya evaluasi menyeluruh terhadap kinerja UPT 2 DLHK, Camat, dan DLHK Kabupaten Tangerang. Kritikan tajam dari berbagai pihak bukan dimaksudkan untuk menjatuhkan, melainkan membangkitkan kembali kepedulian terhadap hak dasar warga: lingkungan yang bersih dan sehat.
(Oim)