Ketidakadilan Rekrutmen Kerja: Syarat 'Berpengalaman' Menjadi Hambatan Utama Bagi Anak Muda yang Baru Lulus
Tangerang, inovasiNews.com 24 April 2025 – Jelang kelulusan anak-anak SMA sederajat di Indonesia, sebuah masalah serius yang mencemaskan kembali muncul. Sejumlah anak muda, yang baru saja menuntaskan pendidikan mereka, harus menghadapi kenyataan pahit dunia kerja yang tidak hanya tertutup, tetapi bahkan hampir tidak memberikan celah. Salah satu syarat paling ironis dan meresahkan yang dipaksakan oleh banyak perusahaan adalah "pengalaman kerja", bahkan untuk posisi yang seharusnya dapat diisi oleh para lulusan baru.
Sejak lama, sistem rekrutmen yang menuntut pengalaman kerja dari lulusan baru sudah menjadi masalah utama. Namun, saat ini masalah ini mencapai titik nadir. Banyak perusahaan yang membuka lowongan untuk posisi entry-level, namun dengan syarat konyol: "harus berpengalaman".
Ini jelas bukan kebijakan yang mendukung para pemuda, tetapi justru sebuah strategi untuk menghindari tanggung jawab memberikan pelatihan dan pengembangan. Dengan kata lain, para pengusaha lebih memilih mencari pekerja siap pakai, tanpa mempedulikan kenyataan bahwa untuk mendapatkan pengalaman tersebut, seseorang harus diberi kesempatan pertama.
Tidak cukup dengan syarat pengalaman kerja, kebijakan ini semakin diperburuk dengan persyaratan lain yang menyakitkan: pelatihan atau sertifikasi berbayar. Para lulusan baru dipaksa untuk mengeluarkan uang untuk mendapatkan pelatihan yang kadang-kadang bahkan tidak relevan dengan pekerjaan yang mereka inginkan.
Ini adalah pukulan berat, terutama bagi mereka yang berasal dari keluarga dengan keterbatasan ekonomi. Sementara itu, pemerintah yang seharusnya melindungi dan memberi ruang untuk berkembang, seakan diam seribu bahasa melihat ketidakadilan ini.
Lulusan yang baru saja menyelesaikan pendidikan mereka seolah terjebak dalam lingkaran setan. Mereka tidak dapat mendapatkan pekerjaan tanpa pengalaman, dan mereka tidak bisa mendapatkan pengalaman tanpa pekerjaan. Ironisnya, banyak dari mereka yang akhirnya terpaksa menerima pekerjaan di sektor informal dengan upah rendah atau bahkan tanpa jaminan hak-hak dasar seperti jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan. Ini jelas bukan dunia kerja yang adil.
Tak hanya itu, di tengah-tengah semua ketidakpastian ini, banyak pihak yang terus menghambat para lulusan untuk mengakses peluang magang atau pelatihan kerja yang sesuai dengan kemampuan mereka. Bahkan ketika ada program-program pelatihan yang tersedia, sebagian besar hanya bisa diakses dengan biaya tinggi.
Mereka yang berasal dari daerah terpencil atau keluarga miskin semakin jauh tertinggal, dipaksa berjuang lebih keras, sementara yang berada di pusat kota dengan fasilitas yang lebih lengkap, lebih mudah mengakses peluang ini. Pemerintah, yang seharusnya menjadi pelindung dan pengayom, malah memperburuk keadaan dengan membiarkan sistem ini terus berlangsung.
Tidak ada kebijakan nyata yang dapat menolong para lulusan SMA sederajat untuk memasuki dunia kerja dengan baik. Jika kebijakan ini terus dibiarkan, para lulusan kita akan terus terjebak dalam lingkaran kemiskinan struktural. Kebijakan yang mendukung "pengalaman kerja" sebagai syarat mutlak hanya akan memperburuk angka pengangguran, bukan menurunkannya.
Mengingat keadaan ini, kritik tajam datang dari Ustaz Ahmad Rustam, seorang aktivis kerohanian yang juga anggota DPD YLPK PERARI Provinsi Banten. Beliau dengan tegas menyatakan:
"Islam mengajarkan bahwa setiap individu berhak mendapatkan pekerjaan yang layak, tanpa dipersulit dengan syarat yang tidak masuk akal. Mengharuskan pengalaman kerja bagi lulusan baru adalah bentuk penindasan terhadap anak muda kita. Pemerintah dan perusahaan seharusnya bertanggung jawab menciptakan peluang yang adil bagi mereka. Ini adalah masalah keadilan sosial, dan kebijakan semacam ini hanya akan memiskinkan umat."
Lebih dari itu, fenomena ini menggambarkan betapa lemahnya komitmen pemerintah dalam menangani masalah ketenagakerjaan di Indonesia. Program magang yang ada hanya menjadi formalitas belaka, tanpa ada jaminan bahwa lulusan akan mendapatkan pengalaman yang relevan dan berharga. Bahkan jika ada peluang magang, mereka yang berasal dari kalangan ekonomi lemah akan selalu tertinggal karena biaya yang tidak terjangkau.
Program-program pelatihan yang diklaim sebagai solusi hanya menjadi jalan pintas untuk menambah beban ekonomi para lulusan baru. Tak jarang, lembaga-lembaga pelatihan ini justru berfungsi sebagai lembaga yang lebih menguntungkan bagi mereka yang memiliki modal daripada bagi mereka yang membutuhkan pendidikan dan keterampilan untuk memulai karir.
Lulusan SMA sederajat, yang seharusnya menjadi generasi penerus bangsa, justru diperlakukan seperti anak tiri. Tanpa pengalaman, tanpa akses ke pelatihan yang layak, mereka terpaksa berjuang keras hanya untuk mendapatkan pekerjaan yang setara dengan kemampuan mereka. Sementara itu, mereka yang memiliki modal atau koneksi, dengan mudah mendapatkan peluang yang lebih baik. Apakah ini yang disebut dengan pemerataan kesempatan?
Pemerintah dan sektor swasta harus segera sadar bahwa ini bukan hanya masalah ketenagakerjaan, tetapi juga masalah moral. Anak-anak muda yang baru saja keluar dari dunia pendidikan harus diberi kesempatan untuk mengembangkan diri, bukan dibebani dengan syarat yang tidak adil. Negara harus hadir untuk memberikan keadilan, bukan hanya menjadi alat bagi segelintir pengusaha untuk menghemat biaya pelatihan.
Ketika banyak anak muda merasa terabaikan dan tertindas oleh kebijakan-kebijakan yang tidak memihak, sudah saatnya bagi kita untuk memikirkan kembali apa yang sebenarnya menjadi prioritas dalam pembangunan ekonomi bangsa ini. Harus ada solusi konkret yang mendukung para lulusan baru untuk memulai karir mereka tanpa harus dipersulit dengan syarat-syarat yang tidak masuk akal.
Pemerintah, lembaga pendidikan, dan pihak terkait harus segera melakukan reformasi dalam dunia pendidikan dan ketenagakerjaan di Indonesia. Ini bukan lagi saatnya untuk berdiam diri. Sudah saatnya bagi mereka untuk berpikir tentang solusi konkret yang mendukung anak muda untuk mendapatkan kesempatan yang setara tanpa syarat-syarat yang tidak adil. Masyarakat harus turut berperan aktif untuk membuka ruang bagi generasi penerus bangsa, tanpa terkecuali.
Sampai saat itu, para lulusan SMA sederajat tetap berharap akan adanya keadilan dan kesempatan yang setara bagi mereka, agar bisa memulai langkah pertama mereka menuju dunia kerja yang lebih adil dan merata.
(Oim)