KKN dan Pemanfaatan Ilegal Ruang Publik, Saatnya Penegak Hukum Tidak Lagi Tutup Mata
Tanggrang - inovasiNews.com Fenomena dugaan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) kembali menjadi sorotan di berbagai sektor pelayanan publik. Meski kesejahteraan para pejabat telah dijamin melalui gaji besar, tunjangan melimpah, dan fasilitas lengkap, dugaan penyimpangan terus bermunculan, seakan menggambarkan bahwa rasa syukur telah menghilang dari hati sebagian oknum.
Berbagai informasi yang diterima redaksi menunjukkan adanya dugaan pemberian pekerjaan kepada pihak tertentu secara langsung, diiringi kompensasi fee yang disinyalir melanggar ketentuan Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Keuntungan pribadi yang didapat melalui praktik semacam ini, jika benar terjadi, tentu sangat merugikan kepentingan masyarakat.
Tak hanya itu, publik juga mempertanyakan dugaan pembengkakan biaya perjalanan dinas, rakor, raker, dan bimtek, yang nilainya jauh dari kebutuhan riil di lapangan. Rancangan anggaran yang diduga diatur sedemikian rupa ini dikhawatirkan menjadi celah baru untuk mencari keuntungan di luar jalur resmi.
Lebih jauh lagi, praktik dugaan mark-up harga barang dan jasa masih menjadi momok. Barang atau jasa yang bisa diperoleh dengan biaya normal, dalam kenyataan lapangan justru dibeli dengan harga membengkak, dengan kualitas yang acapkali mengecewakan. Kondisi ini patut menjadi perhatian serius bagi seluruh lembaga pengawasan.
Belum cukup sampai di situ, publik juga dibuat geleng-geleng kepala dengan dugaan penciptaan proyek fiktif atau kegiatan tidak logis, seperti dokumen sertifikasi untuk objek-objek yang secara teknis mustahil disertifikasi. Jika benar terjadi, tindakan ini merupakan bentuk nyata dari penyalahgunaan kewenangan.
Lebih memilukan, dugaan lain muncul dari pemanfaatan ruang publik secara ilegal. Bahu jalan yang seharusnya menjadi fasilitas umum kini dipenuhi lapak-lapak liar, yang menurut informasi dihargai dengan nominal tertentu dalam skema jual beli titik. Setelah itu, pungutan berupa iuran sewa bulanan dan setoran harian pun diberlakukan, menambah beban bagi para pedagang kecil.
Tidak hanya di bahu jalan, dugaan pemanfaatan liar juga terjadi di atas tanah pengairan. Lapak-lapak dibangun tanpa izin yang jelas, disertai pungutan harian yang, ironisnya, menghalalkan sesuatu yang dilarang. Praktik semacam ini, jika terus dibiarkan, tentu berpotensi menggerogoti fungsi vital infrastruktur publik yang dibangun untuk kepentingan bersama.
Dalam menyikapi berbagai dugaan penyimpangan ini, Ustad Ahmad Rustam, seorang aktivis kerohanian, mengungkapkan keprihatinannya. "Rusaknya sebuah bangsa bukan semata karena banyaknya orang jahat, tetapi lebih karena orang-orang baik yang memilih diam. Ini adalah panggilan nurani bagi semua yang berwenang untuk bangkit, bukan malah membiarkan," tegas beliau.
Ustad Ahmad Rustam juga mengingatkan bahwa ketidakpuasan yang tidak berujung, meskipun semua fasilitas sudah mencukupi, menjadi pangkal dari kerakusan. "Ketika rasa syukur hilang, yang tersisa hanyalah keinginan tanpa batas, dan dari situlah semua penyimpangan berakar," tambahnya.
Masyarakat luas berharap, seluruh aparat penegak hukum, lembaga pengawasan internal, serta pemerintah daerah dapat turun tangan lebih serius, tidak lagi bersikap tutup mata atau tutup telinga atas berbagai dugaan yang beredar. Ketegasan dan keberanian menegakkan aturan secara konsisten sangat dinantikan.
Penting bagi seluruh pihak yang berwenang untuk mengedepankan integritas, menjaga amanah, dan menolak segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan. Keterlibatan masyarakat dalam mengawasi jalannya pemerintahan harus dilihat sebagai bentuk kepedulian, bukan sebagai ancaman.
Di tengah situasi yang memprihatinkan ini, harapan besar tetap hidup: terciptanya tata kelola pemerintahan yang bersih, adil, dan berpihak kepada kepentingan rakyat, bukan kepada segelintir kepentingan pribadi.
(Oim)