Minat dan Bakat Diabaikan, Masa Depan Anak Dipertaruhkan
TANGERANG – inovasiNews.com Pendidikan di Indonesia kembali menjadi sorotan. Di tengah arus globalisasi dan kemajuan teknologi, sistem pendidikan nasional dinilai masih berjalan dengan pola lama yang tak lagi relevan dengan kebutuhan zaman.
Ketergantungan pada nilai raport, ijazah, dan angka-angka akademik membuat dunia pendidikan Indonesia dianggap terlalu berorientasi pada hasil di atas kertas, bukan pada kualitas manusia yang sesungguhnya. Banyak kalangan mulai mempertanyakan apakah pendekatan ini masih layak dipertahankan.
Ketertinggalan Indonesia dari negara-negara maju dalam hal sistem pendidikan bukanlah isapan jempol. Negara seperti Finlandia, Jepang, hingga Singapura sudah sejak lama mengubah orientasi pendidikan mereka menjadi berbasis pada kompetensi nyata, bukan sekadar hafalan dan ujian semata.
“Di luar negeri, anak-anak diajarkan berpikir kritis, bekerja sama, dan mengenali bakat serta minatnya sejak dini. Sementara di sini, mereka dikejar untuk lulus UN atau masuk PTN favorit, meski belum tahu ingin jadi apa,” ujar salah satu pemerhati pendidikan dari Tangerang.
Kurikulum nasional yang terlalu padat dan seragam juga menjadi sorotan. Dugaan kuat menunjukkan bahwa kurikulum Indonesia masih belum fleksibel, sehingga menyulitkan guru dan siswa dalam mengembangkan pendekatan belajar yang sesuai kebutuhan lokal maupun individual.
Sementara itu, posisi guru yang semestinya menjadi fasilitator tumbuh kembang siswa justru sering dibebani administratif dan dituntut menaikkan nilai siswa, bukan kualitas proses belajar. Ini menimbulkan kegelisahan di kalangan pendidik yang ingin melakukan inovasi namun terbentur sistem.
Lebih memprihatinkan lagi, pendidikan karakter yang digadang-gadang menjadi pondasi utama justru kerap hanya sebatas formalitas. Hafalan teks, slogan moral, dan kegiatan simbolis belum menyentuh pembentukan karakter sejati yang berdampak pada kehidupan sosial anak.
Dugaan rendahnya integrasi pendidikan kecakapan abad 21 juga mulai dikeluhkan oleh banyak orang tua. Minimnya porsi untuk melatih keterampilan digital, komunikasi, hingga kolaborasi membuat anak-anak Indonesia berisiko tertinggal dalam persaingan global.
Ketimpangan antara pendidikan di kota besar dan daerah pelosok pun masih lebar. Fasilitas yang tidak memadai, minimnya akses internet, hingga kurangnya pelatihan guru menjadi tantangan besar yang belum terselesaikan hingga hari ini.
Para ahli mengingatkan bahwa keberhasilan pendidikan seharusnya diukur bukan dari angka semata, melainkan dari sejauh mana seorang lulusan mampu hidup mandiri, berkontribusi pada masyarakat, dan memahami tujuan hidupnya.
Kritik tajam ini bukan tanpa dasar. Dunia kerja dan industri masa kini sudah mulai mengabaikan ijazah dan lebih menilai portofolio, kemampuan problem solving, dan kreativitas seseorang dalam menyelesaikan tantangan nyata.
Pemerintah didorong untuk membuka ruang lebih luas bagi pendidikan yang kontekstual, berbasis minat dan bakat, serta memberi otonomi pada sekolah untuk menyesuaikan metode pembelajaran dengan kondisi riil siswa.
Sistem evaluasi pendidikan pun perlu direformasi. Sudah saatnya mengedepankan asesmen yang mendorong eksplorasi diri, bukan sekadar penghafalan materi yang kering dan tidak bermakna.
Ustadz Ahmad Rustam, aktivis kerohanian sekaligus anggota DPD YLPK PERARI Provinsi Banten, turut memberikan tanggapan. “Jika pendidikan hanya sekadar menggiring anak untuk mengejar angka, maka kita sedang mencetak generasi robot, bukan manusia merdeka. Pendidikan harus menghidupkan akal, nurani, dan adab. Bukan hanya logika,” tegasnya saat ditemui usai kegiatan dakwah di Balaraja, Selasa (22/4).
Kritik ini bukan untuk menjatuhkan, tetapi untuk membangun. Karena pendidikan adalah akar dari kemajuan bangsa. Jika akar kita rapuh, bagaimana mungkin kita berharap pada pohon yang kokoh?
(Oim)