Pemprov Banten Larang Study Tour ke Luar Daerah: Sekolah-Sekolah Diminta Tunduk, Sanksi Hukum Menanti!
BANTEN — inovasiNews.con Pemerintah Provinsi Banten akhirnya mengambil sikap tegas. Melalui Surat Edaran Nomor 900.1.7.1/6345/Dindikbud/2025, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) secara resmi melarang seluruh bentuk kegiatan study tour, karyawisata, dan outing class ke luar wilayah Provinsi Banten bagi SMA, SMK dan SKh. Larangan ini bukan sekadar formalitas. Kebijakan ini diterbitkan karena makin melencengnya tujuan awal dari kegiatan study tour. Apa yang seharusnya menjadi ruang belajar kontekstual di luar kelas, kini justru berubah menjadi ajang wisata konsumtif yang sarat pemborosan. Ironisnya, kegiatan tersebut kian jauh dari nilai-nilai edukatif, bahkan tak jarang hanya menjadi acara hura-hura berbiaya tinggi tanpa arah dan substansi pendidikan yang jelas.
Dalam edaran tersebut ditegaskan, tidak boleh ada aktivitas ke luar daerah, baik saat sekolah aktif maupun libur panjang. Termasuk modus “liburan pribadi beramai-ramai yang difasilitasi pihak sekolah” semuanya haram dilakukan di bawah payung lembaga pendidikan.
Bagi yang bandel, bersiaplah. Kepala sekolah, guru, hingga tenaga kependidikan yang tetap nekat akan dijatuhi sanksi hukum administratif. Pemerintah tidak lagi mentolerir gaya lama yang penuh akal-akalan. Sekolah bukan perusahaan travel!
Kebijakan ini juga bertujuan menghidupkan ekonomi lokal dan memaksimalkan potensi wisata edukatif di Banten. Sayangnya, masih banyak sekolah yang terlalu silau dengan kota besar di luar sana, padahal kekayaan budaya dan sejarah Banten belum tergarap optimal.
Meski begitu, pemerintah masih memberi ruang pengecualian hanya untuk sekolah yang sudah punya perjanjian kerjasama resmi dengan instansi pendidikan luar Banten. Tapi syaratnya tegas: harus melapor ke Dindikbud dan menunjukkan bukti hitam di atas putih.
Realitas di lapangan, banyak orang tua murid dari kalangan menengah ke bawah justru semakin tertekan. Tagihan jutaan rupiah untuk study tour membuat mereka harus gali lubang tutup lubang. Ada yang sampai ngutang demi anaknya tidak dikucilkan karena tak ikut "wisata gengsi".
Dimana nurani sekolah-sekolah itu?!
Ini bukan sekadar soal biaya. Ini tentang keadilan sosial, moralitas pendidikan, dan empati yang hilang dari sistem. Jangan sampai sekolah hanya menjadi institusi formal yang buta terhadap beban hidup wali murid.
Jika ditemukan dugaan pelanggaran terhadap surat edaran ini, maka masyarakat dan media diminta tidak tinggal diam. Laporkan! Ungkap! Biarkan publik tahu siapa yang berani bermain di balik aturan.
Menjelang libur kenaikan kelas, biasanya gelombang "rekayasa liburan" mulai muncul. Dinas Pendidikan dan para pengawas diminta waspada. Tidak boleh ada dalih “kami hanya memfasilitasi”. Itu tetap pelanggaran.
Sekolah-sekolah yang jujur dan punya hati nurani sudah mulai membuat surat edaran ke wali murid, menyatakan tidak akan menggelar kegiatan komersial berkedok edukasi, dan akan tetap mengawasi aktivitas siswa di luar jam sekolah. Inilah contoh baik yang layak ditiru.
Sebagai penegas nurani, Ustadz Ahmad Rustam, aktivis kerohanian dan anggota DPD YLPK PERARI Provinsi Banten, dengan lantang menyampaikan:
"Dalam Islam, memaksakan biaya di luar kemampuan orang tua adalah bentuk kezhaliman. Rasulullah ï·º bersabda: ‘Tidak ada kewajiban bagi sesuatu yang tak sanggup dipikul.’ Jika ada sekolah yang tetap ngeyel dan memaksa, maka itu bukan hanya pelanggaran administratif, tapi kezaliman terhadap umat! Anda bukan hanya menyakiti dompet wali murid, tapi juga **menghancurkan akhlak amanah pendidikan.”
Redaksi menghimbau: hentikan gaya feodal dan gengsi semu di lembaga pendidikan! Taat hukum, sadar sosial, dan tanamkan empati. Sekolah bukan tempat pamer liburan, tapi ladang membangun karakter dan keadaban bangsa.
(Oim)