Penarikan Paksa dan Intimidasi oleh Agen Penagih, PT. BSN dan FIF Cikupa Terancam Langgar Hukum Pidana dan Perlindungan Konsumen
Tangerang – inovasiNews.com Kejadian memalukan yang mencoreng dunia penagihan utang kembali terjadi di Kabupaten Tangerang. Seorang pemuda bernama Rezi, pemuda asal Tigaraksa, menjadi korban penagihan bergaya premanisme oleh empat orang yang mengaku sebagai agen dari PT. Bintang Sinergi Nusantara (BSN) cabang Kelapa Dua. Peristiwa ini terjadi pada 4 April 2025, di mana Rezi diadang di jalan dan dipaksa ikut ke kantor PT. BSN dengan dalih keterlambatan pembayaran angsuran kendaraan di FIF cabang Cikupa.
Di kantor tersebut, dugaan intimidasi dan ancaman kekerasan tak terelakkan. Salah satu dari mereka bahkan diduga sempat mengancam akan memukul Rezi. Yang lebih miris, kunci kendaraan Rezi dirampas secara paksa, dan Rezi diharuskan membayar biaya penarikan sebesar Rp1,2 juta tanpa dokumen resmi apapun. Karena merasa terancam, Rezi memilih kabur dari lokasi menggunakan ojek online tanpa membawa Berita Acara Serah Terima Kendaraan (BASTK). Bukti berupa kunci serep dan STNK masih berada di tangan Rezi.
Dua hari setelah kejadian, Ketua DPD YLPK PERARI Provinsi Banten, Rizal, mencoba memediasi kasus ini dengan mendatangi kantor PT. BSN. Namun alangkah terkejutnya Rizal saat mengetahui bahwa unit motor Rezi sudah berada di gudang FIF, padahal BASTK belum pernah ditandatangani ataupun diterima oleh Rezi. Bukti percakapan digital (screenshot) menunjukkan bahwa pihak PT. BSN menginformasikan kendaraan sudah dititipkan ke gudang FIF.
Yang menjadi pertanyaan publik: Bagaimana bisa pihak FIF menerima kendaraan tanpa dokumen resmi BASTK dari debitur? Dugaan kuat muncul bahwa unit kendaraan diterima dengan prosedur ilegal, mengingat belakangan muncul dokumen BASTK dengan tanda tangan Rezi yang diduga palsu. Bukti berupa foto BASTK yang mencantumkan tanda tangan Rezi tanpa sepengetahuannya memperkuat dugaan pemalsuan dokumen.
Ironisnya, praktik seperti ini bukanlah yang pertama dilakukan oleh PT. BSN. Dalam dua bulan terakhir, sedikitnya empat kejadian serupa yang diberitakan oleh media lokal, yang menyebutkan aksi penarikan secara paksa oleh sekelompok orang atas nama PT. BSN. Mereka beroperasi tanpa identitas resmi, tanpa surat tugas penarikan, dan menggunakan metode yang menyerupai aksi preman di jalanan.
Dalam kasus Rezi, keempat orang yang mengadang pun tak mampu menunjukkan dokumen resmi yang menandakan legalitas penugasan mereka. Ini membuka dugaan serius bahwa yang bersangkutan bukan agen sah, melainkan sekadar eksekutor lapangan yang bertindak seolah kebal hukum.
Padahal, sesuai KBLI 82911 tentang jasa penagihan resmi, agen penagih hanya boleh melakukan pendekatan secara profesional: menyampaikan surat peringatan, melakukan negosiasi, dan melaporkan kepada pemberi kuasa. Penggunaan kekerasan, ancaman, dan perampasan di luar proses hukum adalah tindakan pidana murni.
Berbagai pasal hukum bisa menjerat pelaku dan pihak yang terlibat, termasuk Pasal 368 KUHP tentang pemerasan, Pasal 365 KUHP tentang pencurian dengan kekerasan, hingga Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen. Tak hanya itu, dugaan pelanggaran terhadap UU Perlindungan Konsumen, UU Fidusia, serta Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang melarang penarikan kendaraan tanpa perintah pengadilan, turut membayangi perkara ini.
Fakta bahwa unit Rezi diterima oleh pihak FIF Cikupa tanpa BASTK menambah aroma busuk kerja sama tak sehat antara PT. BSN dan perusahaan pembiayaan. Dugaan praktik “fee tarik” tanpa dasar hukum layaknya pelegalan pencurian atas nama leasing patut diselidiki tuntas oleh OJK dan aparat penegak hukum lainnya.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kepolisian, hingga Kementerian Koperasi dan UKM serta Kemenkumham harus segera turun tangan. Pembiaran terhadap praktik penagihan liar berkedok profesional hanya akan menumbuhkan iklim ketakutan bagi konsumen dan merusak citra lembaga keuangan resmi di mata publik.
YLPK PERARI sebagai lembaga konsumen telah menyatakan komitmennya membawa perkara ini ke jalur hukum. Bila perlu, laporan resmi akan diajukan ke Polda Banten dan OJK untuk membuka praktik gelap dalam sistem penarikan kendaraan yang selama ini kerap luput dari pengawasan.
Masyarakat kini menanti ketegasan aparat. Akankah hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas? Atau akan berdiri tegas menegakkan keadilan bagi setiap warga negara? Satu hal yang pasti: hukum tak boleh kalah oleh preman berseragam rapi.
(Oim)