Relokasi PKL Pasar Sentiong: Ketika Kepentingan Liar Diselimuti Retorika Bela Rakyat
Tanggerang – inovasiNews.com Proses relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di kawasan Pasar Sentiong kembali menjadi sorotan. Pemerintah setempat melakukan penertiban terhadap lapak-lapak yang berdiri di bahu jalan dan diduga menjadi salah satu penyebab kemacetan rutin pada jam sibuk. Namun di tengah langkah ini, muncul pemberitaan yang menimbulkan polemik karena narasinya dinilai tidak berimbang dan terkesan mengabaikan kepentingan umum. PKL yang selama ini menempati badan jalan secara ilegal kerap menimbulkan keluhan masyarakat, terutama pengguna jalan yang terganggu aktivitasnya setiap pagi dan sore.
Sayangnya, dalam sejumlah pemberitaan, keberadaan pasar liar ini justru ditampilkan sebagai bentuk perjuangan ekonomi rakyat kecil, tanpa menyoroti aspek hukum dan ketertiban umum. Narasi yang dibangun oleh sebagian media justru mengesankan bahwa relokasi adalah bentuk ketidakadilan. Padahal, penertiban ini dilakukan berdasarkan regulasi yang berlaku dan dalam rangka mengembalikan fungsi ruang publik.
Hal ini memunculkan dugaan adanya keberpihakan yang tidak proporsional dalam pemberitaan. Salah satu hal yang mengundang tanya adalah permintaan audiensi dari pihak PKL kepada Bupati Tangerang. Dalam pernyataannya, mereka menuntut adanya “win-win solution”. Namun publik mempertanyakan, selama bertahun-tahun pengguna jalan telah dirugikan akibat aktivitas mereka—lalu di mana letak win-win solution bagi masyarakat luas?
Media yang memberitakan pun menyebut lokasi relokasi tidak layak tanpa menyertakan data teknis, dokumentasi visual, atau konfirmasi dari instansi berwenang. Ini memunculkan kekhawatiran akan dugaan pembentukan opini tanpa dasar fakta yang memadai.
Prinsip jurnalistik menuntut keberimbangan dan verifikasi. Namun dalam kasus ini, suara dari pihak pemerintah, Dinas Perdagangan, atau aparat tidak terlihat. Yang muncul hanyalah kutipan dari pihak yang menolak relokasi, sehingga publik menerima informasi yang kurang utuh.
Ustad Ahmad Rustam, aktivis dakwah dan pengamat sosial Balaraja yang juga menjabat sebagai Ketua Bidang Keagamaan YLPK PERARI DPD Banten, menyayangkan arah pemberitaan yang menurutnya tidak mencerminkan etika jurnalistik. “Media bukan mimbar agitasi. Jika narasi dibangun dari asumsi sepihak dan hukum diabaikan, itu bukan lagi jurnalisme, melainkan penyebaran keresahan di tengah masyarakat,” tegasnya.
Ia menambahkan, terdapat indikasi media dijadikan alat oleh pihak-pihak yang tidak siap menerima proses penataan. “Ada dugaan bahwa media dimanfaatkan oleh oknum yang selama ini diuntungkan dari pasar liar. Ketika dilakukan penertiban, mereka membangun resistensi melalui pemberitaan,” ujarnya.
Dalam perspektif Islam, lanjut Ustad Rustam, menjaga hak jalan umum adalah kewajiban moral dan sosial. “Rasulullah SAW melarang duduk di pinggir jalan tanpa menjaga adabnya, apalagi sampai mendirikan bangunan yang mengganggu hak orang banyak. Itu bisa dikategorikan sebagai bentuk kezaliman,” katanya.
Kini, pihak yang menuntut keadilan karena merasa dirugikan seolah melupakan bahwa sebelumnya mereka juga telah merugikan banyak pihak. Publik pun mengingatkan: keadilan harus berlaku dua arah tidak hanya ketika kepentingan sendiri yang terganggu.
Sorotan juga diarahkan pada peran media yang dinilai tidak cukup hati-hati dalam menyajikan informasi. Alih-alih menjadi penjernih, pemberitaan tersebut berpotensi memperkeruh suasana dan memicu konflik sosial.
Fungsi media adalah mencerahkan, bukan menyesatkan. Jika pemberitaan kehilangan integritas dan hanya menjadi corong opini tertentu, maka kepercayaan publik terhadap pers akan terkikis.
Sejumlah pihak pun mendesak aparat untuk mengusut dugaan adanya aktor di balik munculnya pasar liar ini. Penegakan hukum terhadap oknum yang diduga mengatur dan memanfaatkan situasi juga dinilai penting untuk menjaga wibawa penataan wilayah.
Relokasi bukan upaya mengusir pedagang kecil, tetapi bagian dari penataan agar kepentingan seluruh masyarakat dapat dilindungi secara adil dan berkelanjutan.
Sebagai penutup, publik diajak lebih bijak dalam menerima informasi. Jangan sampai media yang seharusnya menjadi pilar demokrasi justru menjadi alat pembenaran atas pelanggaran. Keadilan harus ditegakkan untuk semua, bukan hanya untuk segelintir yang bersuara lebih nyaring.
(Oim)