Surat Hak Jawab FIFGROUP Cabang Balaraja Dipertanyakan, Dugaan Pelanggaran Hukum dan Etika Mengemuka
Tanggerang - inovasiNews.com Polemik antara masyarakat dan FIFGROUP Cabang Balaraja terkait penarikan kendaraan debitur kembali mencuat, menyusul terbitnya surat hak jawab dari pihak perusahaan pembiayaan tersebut. Namun, analisis mendalam terhadap isi surat tersebut justru mengungkap sejumlah titik permasalahan yang dinilai krusial secara hukum dan etika. Dalam surat hak jawab yang dikirimkan kepada media, pihak FIFGROUP menyatakan bahwa proses penarikan kendaraan telah dilakukan oleh pihak ketiga yang ditugaskan secara resmi dan sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP). Mereka juga menyebut bahwa debitur bersikap kooperatif dalam proses tersebut.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan dugaan sebaliknya. Penarikan kendaraan diduga dilakukan tanpa prosedur resmi, tanpa persetujuan debitur, dan menggunakan dokumen yang mencatut nama perusahaan namun tidak memiliki kop resmi. Kendaraan tersebut kemudian disebut “dibawa kabur”, memicu reaksi masyarakat setempat.
Permasalahan ini menjadi semakin serius ketika ditinjau dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019. Dalam putusan tersebut ditegaskan bahwa eksekusi objek jaminan fidusia tidak boleh dilakukan secara sepihak atau memaksa, kecuali dengan persetujuan debitur atau putusan pengadilan. Jika eksekusi dilakukan secara paksa, maka pernyataan “sesuai regulasi” yang dimuat dalam surat hak jawab FIFGROUP berpotensi menyesatkan publik.
Yang lebih meresahkan adalah penggunaan dokumen serah terima kendaraan (BASTK) yang diduga palsu. Dokumen tersebut tidak mencantumkan kop resmi dan dianggap mencatut nama FIFGROUP. Dalam surat hak jawabnya, perusahaan sama sekali tidak menyinggung dugaan pemalsuan ini, padahal hal tersebut menyangkut reputasi dan kredibilitas mereka sendiri.
Jika benar dokumen itu tidak dikeluarkan secara sah oleh perusahaan, maka semestinya FIFGROUP bersikap lebih tegas. Langkah minimal adalah melakukan investigasi internal, melaporkan dugaan pencatutan ke kepolisian, serta menjelaskan posisi resmi mereka atas dugaan dokumen bodong tersebut. Ketidakjelasan sikap bisa ditafsirkan sebagai pembiaran atau kelalaian dalam pengawasan pihak ketiga.
FIFGROUP dalam keterangannya juga menyatakan bahwa eksekusi dilakukan oleh pihak ketiga, bukan karyawan internal. Namun, fakta lapangan menyebut penarikan dilakukan oleh oknum debt collector atau matel yang mengaku sebagai perwakilan resmi dan membawa dokumen atas nama perusahaan.
Perlu ditegaskan, menurut POJK No. 35/POJK.05/2018, pihak ketiga dalam industri pembiayaan wajib bersertifikat, mematuhi standar etik, dan dilengkapi surat tugas resmi. Jika dalam praktiknya terjadi pelanggaran, maka tanggung jawab hukum tetap berada di pundak perusahaan pemberi tugas. Ini menyangkut prinsip tanggung gugat dalam hubungan vendor.
Narasi “debitur kooperatif” yang dimuat dalam surat hak jawab juga menimbulkan pertanyaan.
Sebab, jika proses penarikan berlangsung secara tertib dan atas persetujuan, mustahil ada reaksi keras dari masyarakat hingga melibatkan organisasi kemasyarakatan seperti Pemuda Pancasila. Reaksi tersebut menandakan bahwa ada dugaan kuat bahwa proses tidak berjalan sesuai norma hukum dan sosial.
Penolakan tanggung jawab serta pengaburan fakta-fakta krusial dalam surat hak jawab berpotensi merusak semangat hak jawab itu sendiri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pers. Hak jawab seharusnya menjadi ruang korektif, bukan sekadar alat pembelaan sepihak.
Secara keseluruhan, isi surat hak jawab dari FIFGROUP dapat dinilai tidak menjawab substansi pemberitaan awal, terutama dalam hal dugaan penggunaan dokumen palsu dan pencatutan nama perusahaan. Tidak ada penjelasan tegas atau bukti bahwa pihak perusahaan telah melakukan penindakan atau klarifikasi terhadap pihak ketiga tersebut.
Jika memang benar bahwa FIFGROUP tidak terlibat langsung dan menjadi korban pencatutan, maka sudah semestinya mereka mengambil langkah tegas. Sikap proaktif berupa penyelidikan internal, pelaporan resmi ke polisi, dan peninjauan SOP kerja sama dengan pihak ketiga akan memperlihatkan komitmen mereka terhadap hukum dan etika.
Dalam dunia yang semakin menuntut transparansi dan akuntabilitas, surat hak jawab seharusnya menjadi sarana klarifikasi yang mencerdaskan publik, bukan justru menutupi permasalahan mendasar. Masyarakat pun kini menanti langkah nyata dari FIFGROUP bukan sekadar pernyataan formal untuk memastikan bahwa kasus serupa tidak kembali terjadi di masa depan.
(Oim)