Tangisan Anak Palestina: Nurani Dunia yang Terluka
InovasiNews.com Saat alarm berbunyi di pagi hari, anak-anak di banyak negara bergegas menuju sekolah dengan ransel penuh buku dan impian. Namun di Palestina, pagi dimulai dengan suara ledakan yang mengguncang bumi, memaksa anak-anak berlarian menyelamatkan diri dari reruntuhan rumah mereka.
Kontras ini mengiris hati. Betapa di satu sisi dunia, anak-anak bisa memikirkan cita-cita, sedangkan di sisi lain, anak-anak Palestina hanya berpikir untuk bertahan hidup satu hari lagi. Perbedaan ini bukan sekadar angka statistik, tetapi tragedi kemanusiaan yang nyata.
Puisi sederhana berjudul "Temanku, Anak Palestina" menjadi representasi suara hati dunia yang pedih. Melalui bait-bait lirih, puisi ini menggambarkan kesedihan mendalam: permintaan maaf kepada anak-anak Palestina atas dunia yang gagal melindungi mereka.
"Maafkan aku, rasa sakitmu menjadi sakitku," tulis penggalan puisi itu, mengajarkan kita bahwa empati tidak mengenal batas negara, bahasa, atau budaya. Kesakitan satu anak di Palestina adalah kesakitan seluruh umat manusia.
Di tanah yang seharusnya menjadi tempat bermain dan belajar, anak-anak Palestina justru tumbuh dalam bayang-bayang perang, kehilangan, dan trauma. Setiap suara keras, setiap cahaya di malam hari, bisa berarti bahaya baru.
Fenomena ini mencerminkan kegagalan kolektif dunia untuk menegakkan nilai kemanusiaan. Ketidakpedulian para pemimpin dunia terhadap penderitaan anak-anak Palestina adalah aib besar dalam sejarah modern.
Ustad Ahmad Rustam, aktivis kemanusiaan dan tokoh kerohanian, dalam keterangannya menyampaikan, "Ketika anak-anak menjadi korban dari ketamakan, kekuasaan, dan kerakusan dunia, itu pertanda dunia ini telah kehilangan hati nuraninya. Palestina bukan hanya soal geopolitik, ini soal kemanusiaan. Setiap tangisan anak Palestina adalah panggilan langit yang akan menjadi saksi di hadapan Tuhan."
Beliau menambahkan, "Tidak cukup hanya merasa sedih. Kita wajib bergerak. Entah dengan doa, dengan advokasi, atau dengan membangun kesadaran di sekitar kita. Diamnya kita hari ini akan dibayar mahal oleh generasi yang akan datang."
Anak-anak, siapa pun mereka, memiliki hak fitrah untuk bahagia, aman, dan bermimpi. Palestina hari ini menjadi simbol luka dunia yang harus disembuhkan dengan keberanian untuk berdiri di sisi keadilan.
Solidaritas kepada Palestina harus lebih dari sekadar ucapan belasungkawa. Ia harus hidup dalam tindakan nyata: memperjuangkan hak anak-anak Palestina untuk hidup bebas, untuk bermain tanpa rasa takut, untuk bersekolah tanpa dihantui ledakan.
Melalui karya sastra, melalui pendidikan, dan melalui suara-suara yang berani, dunia bisa perlahan membalikkan tragedi ini. Setiap anak yang hari ini belajar tentang Palestina, adalah satu langkah menuju dunia yang lebih adil di masa depan.
Puisi "Temanku, Anak Palestina" mengajarkan bahwa dalam dunia penuh kekerasan ini, suara kejujuran dan kasih sayang tetap bisa mengalir. Ia mengingatkan bahwa tidak semua manusia telah membatu; masih ada hati-hati yang bergetar saat mendengar derita anak-anak Palestina.
Kini saatnya, dunia tidak lagi pura-pura tuli. Saatnya dunia berdiri, bukan hanya menangis. Demi anak-anak Palestina, demi harga diri kemanusiaan, demi masa depan yang lebih bermartabat untuk semua anak di bawah langit yang sama.
(Oim)